Hasta Kencana merupakan salah satu sanggar tari yang ada di Cirebon dan didirikan oleh Ipul. Dinda Agisna Julianti dan Luizhein Shafira Ramadhani adalah dua penari dari banyaknya anggota yang tercatat di sanggar tersebut.

Dinda Agisna Julianti mulai menyukai dunia tari sejak berusia tiga tahun. Ibu Yulita yang merupakan ibunda Dinda saat mengetahui anaknya memiliki keinginan di bidang seni tari, akhirnya memasukannya ke sanggar tari Hasta Kencana.

Diawal pengalamannya mengikuti lomba, Dinda menuturkan itulah kali pertama ia mengikuti lomba dan hasilnya mengecewakan. Pasalnya ia tidak lolos menjadi juara. Setelah mengetahui hasil dari perlombaan, ia menangis sesampainya di rumah. Mengetahui putrinya tiada henti menangis dan khawatir kalau sampai berhenti menari, maka ibunda Dinda pun berinisiatif membelikan piala untuk Dinda. Ketika itu beliau mengatakan pada Dinda bahwa piala tersebut diberikan oleh dewan juri yang meloloskan Dinda sebagai juara. “Ini merupakan salah satu cara untuk memotivasi sang anak,” ujar Ibu Yulita.

“Waktu itu lagi di rumah, mamah datang bawa piala, katanya ini dapat,” kenang Dinda saat ibunda menyemangati dengan cara yang indah. Meski harus berbohong pada anaknya, namun beliau melakukan itu dengan harapan  agar anaknya mau terus mengasah potensi yang dimiliki dan tidak patah semangat. Beranjak kelas tiga sekolah dasar, Dinda tetap giat berlatih tari dan akhirnya mampu menjadi juara. Prestasi itulah yang akhirnya membuka kejujuran ibunda untuk mengatakan bahwa piala yang pernah diberikan pada Dinda saat ia berusia tiga tahun adalah piala yang sengaja dibeli dan bukan benar-benar prestasi yang didapatkan dari menjuarai lomba tari. Mendengar pengakuan ibunda, Dinda tidak begitu kecewa, karena saat itu ia telah mampu memenangkan perlombaan hasil keringatnya sendiri dan prestasi yang diraih Dinda membuat ibunda bangga. “Waktu itu mamah bilang, mamah bangga,” ujar Dinda.

Selama dua belas tahun menekuni dunia tari dan kini usianya menginjak lima belas tahun, sudah lima puluh piala berhasil disabetnya, baik tingkat kota atau kabupaten maupun provinsi serta pentas dari panggung ke panggung sering dijajalnya. Banyak tarian yang sudah dikuasai, antara lain tari topeng selangit, losari, indramayu, palimanan,, tari kreasi, dan tari jaipong.

“Tari topeng panji menggambarkan bayi baru lahir masih suci. Samba menggambarkan remaja ceria. Rumyang menggambarkan remaja menuju dewasa. Tumenggung menggambarkan manusia gagah dan kelana menggambarkan raja yang sedang gandrung,” tuturnya memaparkan filosofi beragam tari topeng.

Ditanya perihal manfaat yang didapatnya selama menekuni dunia tari, Dinda menjelaskan bahwa selain merasakan senang juga dikenal banyak orang dan memiliki banyak prestasi.

Diakuinya bahwa mata pelajaran kesenian di sekolah yang diberikan oleh guru kesenian perlu ditunjang ilmu dari luar. Dengan seringnya berlatih di sanggar dapat mengasah potensi yang ia miliki.

“Menari itu perlu latihan rutin dan yang terpenting juga menguasai filosofinya. Kalau anak-anak lain main, kita ke sanggar untuk berlatih.”

Sama halnya dengan Dinda, Luizhein Shafira Ramadhani pun memiliki kisahnya sendiri dalam mencapai harapan di dunia tari.

Meski anggota keluarga tidak ada yang memiliki darah seni, namun kegemaran Luizhein terhadap dunia tari begitu mengental. Sejak usia empat tahun hingga kini menginjak kelas satu sekolah menengah pertama, Luizhein tidak pernah berhenti berlatih tari.

Ketertarikannya pada dunia tari dimulai sejak melihat Sandrina, salah satu peserta IMB. Menurutnya, Sandrina adalah sosok penari berbadan lentur dan ia sangat mengidolakannya hingga kini.

Sudah banyak prestasi yang diraih Luizhein, baik tingkat kota atau kabupaten maupun provinsi. Tari topeng selangit dan indramayu serta jaipong sudah ia kuasai dan ia berkeinginan bisa menambah penguasaan tarian lain. “Senang kalau menari. Bisa dilihat dan dikenal banyak orang. Gemetar juga sih,” ujarnya.

Kesetiaan pendampingan dari pihak keluarga menjadi suntikan efektif dalam perkembangan dan pembentukan utuh potensi individu. Luizhein sendiri mengakui bahwa pendampingan yang selalu diberikan nenek maupun kakeknya menjadi salah satu spiritnya. “Terima kasih nenek suka nemenin aku ke mana-mana. Suka nganterin,” tuturnya.

Mengenai kiat-kiat khusus, Luizhein mengaku tak ada cara berbeda dengan penari lainnya, yakni mengurangi bermain, berlatih secara rutin, dan lebih banyak belajar di sanggar dengan memperbanyak tarian. Diakuinya meski guru kesenian dan pihak sekolah turut memberikan dukungan dalam pengembangan minatnya, tetapi pengasahan bakat tarinya lebih dalam dilakukan di sanggar.

Bersama Sanggar Hasta Kencana, akhirnya Luizhein dan Dinda kecil (dulu) terbentuk menjadi remaja Cirebon yang terasah potensinya. Dengan kemampuan yang mereka miliki ditunjang dengan dukungan dari pihak keluarga dan dorongan dari Bang Ipul, mereka menjelma menjadi sang penari dari Hasta Kencana. Tentu saja, Cirebon patut bangga. Adanya generasi muda yang mencintai budaya lokal dan mau mengembangkannya, maka regenerasi akan terus ada dan kesenian Cirebon tidak akan pernah punah. Tak dipungkiri bahwa apresiasi menjadi salah satu motivator yang dapat memberikan energi positif bagi para generasi muda yang produktif, kreatif, dan inovatif. Hadirnya potensi-potensi anak muda dapat membawa harum nama Cirebon dan Cirebon patut bangga.

9 Total Views 1 Views Today