Penulis : Helda Damayanti

Pelajar di SMK N 1 Lemahabang

 

Bertahun-tahun mereka bersahabat. Mereka menjalin persahabatan yang begitu erat. Pada suatu hari persahabatan mereka terhenti hanya karena persoalan perasaan, namun kekuatan persahabatan dan kedewasaan pola pikir membuat persahabatan itu pun terjalin kembali dengan  baik.

Devi namanya. Ayahandanya bernama Yanto. Beliau bekerja sebagai petani, sedangkan ibunya telah tiada. Keluarga mereka cukup sederhana, namun kaya dengan kasih sayang. Devi memiliki teman dekat, yakni Ani dan Wawan. Persahabatan mereka terjalin sejak kecil, pun orang tua masing-masing sudah sangat dekat.

Sang surya terbit dari ufuk timur. Devi yang kini duduk di bangku SMP kelas sembilan bergegas berangkat ke sekolah. Ia termasuk anak yang ramah, cantik, dan pintar, sehingga disenangi banyak teman di sekolahnya.

Ayo cepat lari, nanti kita bisa terlambat!” Teriak Wawan sambil menarik tangan Devi dan Ani. Untuk pertama kalinya mereka datang terlambat karena saat perjalanan menuju sekolah, mereka dikejar-kejar orang gila yang sering mengganggu anak seusia mereka.

Dengan terengah-engah akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah yang ternyata sudah ditutup. Satpam sekolah pun menghampiri dan menegur mereka. Selain mendapatkan teguran, mereka juga diberi hukuman tidak diperbolehkan memasuki kelas dan dijemur di bawah tiang bendera sekolah.

Aduh panas sekali, kita bisa hangus nih dijemur seperti ini,” ujar Ani.

“Ini gara-gara orang gila tadi, kenapa ngejar-ngejar kita ya?” Jawab Wawan.

“Orang gila tadi sepertinya suka sama kamu Ni, hehe,” balas Devi.

Sedang dihukum pun mereka masih saja bercanda. Bertepatan dengan bel istirahat hukuman selesai dan mereka masuk ke kelas, lalu memakan bekal yang biasa dibawa dari rumah. Dengan lahap mereka memakanannya sambil bergurau dan tertawa mengingat kejadian tadi pagi.

Persahabatan yang sudah terjalin sekian lama ternyata membuat Wawan memendam perasaan istimewa terhadap Devi. Rasa sayang lebih dari seorang sahabat, Wawan sangat menyukai Devi, karena sikapnya yang sangat baik.

Pada hari itu, sepulang sekolah terlintas dalam pikiran Wawan untuk mengungkapkan perasaannya terhadap Devi, namun ia merasa khawatir bila persahabatannya akan hancur hanya karena perasaann itu. Tetapi akhirnya Wawan mencoba memberanikan diri.

“Devi, pulang sekolah aku ingin bicara sesuatu nih,” ungkap Wawan.

“Memangnya ingin bicara apa?” tanya Devi.

“Sudah, tunggu saja nanti,” tutur Wawan.

Akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba. Semua siswa telah meninggalkan kelasnya terkecuali Devi, Ani, dan Wawan. Namun, Ani pulang lebih dulu sebab ada sesuatu yang harus dibeli untuk ibunya. Sementara itu, Wawan meminta Devi untuk menunggunya beberapa menit di kelas, lalu ia mengambil sesuatu yang telah disiapkan buat Devi, yaitu boneka Teddy Bear yang merupakan boneka kesukaan Devi. Devi merasa kesal, karena cukup lama menunggu Wawan dan ia pun ke luar dari kelas, berniat untuk pulang, tetapi ternyata Wawan sudah ada di depan pintu kelas sedang melangkah memasuki ruang kelas.

Blakk, kepala Wawan terbentur daun pintu yang sedang dibuka oleh Devi.

“Ya ampun Wan, maaf yah, aku tidak sengaja, apa ada yang sakit?” Tanya Devi dengan sedikit rasa bersalah.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku baik Dev,” sambil tersenyum kaku Wawan menjawab.

Dengan gemetar sambil menahan rasa sakit, Wawan mencoba mengungkapkan perasaannya. Jantungnya berdetak kencang, hatinya melayang di angkasa, dan bibir menjadi kelu. Wawan mengungkapkan seluruh perasaannya kepada Devi sambil memberikan boneka di tangannya.

Devi sangat terkejut, Wawan yang dia anggap sebagai sahabatnya sedari kecil memiliki rasa kepadanya, tetapi Devi tidak ingin mengubah persahabatan menjadi cinta. Mengingat mereka juga masih kecil. Devi menolak Wawan dengan halus, lalu berlari pulang meninggalkan Wawan.

Wawan merasa sangat kecewa. Hatinya hancur berkeping-keping. Berbulir air dari kedua kelopak matanya jatuh.

Esoknya, mereka tidak saling sapa dan tidak pernah main bersama lagi. Wawan ingin menjauh dari Devi, tetapi justru itulah yang membuatnya tersiksa. Wawan tersiksa oleh perasaannya sendiri. Hari demi hari dilaluinya dengan perasaan kesepian dan terasa ada yang kurang. Tak lagi ada kehadiran sahabat baiknya, Devi. Wawan mulai merenung. Benar dugaannya, persahabatan menjadi renggang karena perasaannya itu.

Saat libur sekolah, ayahanda Devi mengajaknya ke kebun untuk mengambil singkong. Biasanya, Ani dan Wawan selalu ikut. Namun sekarang hanya Ani yang menemaninya. Devi pun merasa ada yang kurang setelah kejadian itu. Berhubung jarak rumah Wawan dan Devi tidak berjauhan dan tak sengaja Wawan melihat Devi, Wawan pun mengikuti tanpa sepengetahuan mereka. Ia berniat memperbaiki persahabatan yang merenggang.

“Devi, ayo cabut singkongnya dan kumpulkan yang banyak ya Nak,” ujar ayah Devi.

“Baik ayah, tapi singkong di sini tanahnya keras sekali ayah,” Devi menjelaskan.

“ Biar aku bantu,” tiba-tiba Wawan datang dari belakang dan mengulurkan tangan untuk membantu Devi.

“Wawan, kok kamu bisa ada di sini?” Tanya Devi.

“Bisa dong, aku kan ingin membantumu, kita kan sahabat,” jawab Wawan sambil tersenyum.

“Apakah kamu serius berkata seperti itu?”

“ Ya, aku sangat serius karena kita kan sahabat. Jadi kita harus saling membantu. Aku pun akan selalu ada buat kamu Dev, Ani, karena suatu kewajiban bagiku untuk selalu membuat sahabat-sahabatku ini bahagia”.

 Devi tersenyum. Ia, pun Ani merasa sangat senang. Wawan sahabat terbaiknya kini telah kembali seperti dulu lagi.