Ini tahun ke – 2017 di mana bumi masih memberikan kesempatan kepada makhluk bernyawa untuk menempati sekaligus menikmati berbagai fasilitas di dalamnya yang merupakan titipan Allah SWT. Dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, manusia wajib menjaga beragam elemen yang terdapat di dalamnya. Tugas cukup berat harus diemban oleh manusia sebagai makhluk hidup yang dipilih Allah untuk merawat bumi.

Bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya memiliki potensi sumber daya alam luar biasa, berbeda dengan planet – planet lainnya. Baik di daratan maupun lautan, beragam kekayaan alam terhampar begitu luas. Indonesia yang tepat berada di garis khatulistiwa memiliki potensi SDA lebih banyak dibandingkan negara – negara lain.

Keberadaan potensi SDA melimpah sebagai anugerah yang diberikan Allah untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya apatis terhadap lingkungan. Indonesia yang berideologikan Pancasila dan memegang prinsip Bhineka Tunggal Ika melupakan hal terpenting lain selain sisi kemanusiaan yang perlu dijunjung, yakni alam.

Di manakah kita dapat melihat aturan tertulis bahwa masyarakat Indonesia berkewajiban menjaga dan merawat bumi?  Bila menyelisik keberadaan ideologi Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika memang sampai saat ini pada kenyataannya sebatas teori belaka. Teori yang terangkum jelas secara tertulis, namun praktiknya hanya menyisakan angan – angan.

Hukum yang tumpul dan diskriminasi yang lahir karena perbedaan menjadikan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika cuma dikenal dan dikenang sebagai sebuah tulisan dalam selembar kertas atau di dalam buku. Penghargaan terhadap nama yang telah dicetuskan oleh para pendahulu kini hanya sebatas ingatan atau ucapan secara lisan saja. Dengan mengingat mungkin sudah dirasa cukup. Apalagi dengan mengatakannya. Namun apakah itu yang diperlukan bagi kemaslahatan rakyat Indonesia?

Teori berserakan di mana – mana, membuat sederet daftar panjang kewajiban manusia untuk menghafalnya, bahkan guru di sekolah pun mendidik kita untuk menghafal dan menghafal saja namun minim praktik di lapangan. Padahal sebetulnya yang terpenting adalah aplikasi yang dapat menghidupkan ruh dari teori tersebut.

Keberadaan museum dan tempat – tempat bersejarah lainnya serta sederet nama pahlawan yang gugur di medan tempur yang namanya tersohor melalui cerita kakek dan nenek juga terdapat dalam beberapa buku sejarah, bahkan ada pula pahlawan yang masih hidup hingga kini, dan taman makam pahlawan yang masih basah oleh kenangan menjadi bukti pengorbanan harta, jiwa, dan raga dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Kenyataan pahit yang telah ditelan habis menyisakan kenangan yang dihargai hanya dengan ingatan beberapa jam saja saat pelajaran sejarah di dalam kelas atau upacara bendera di lapangan setiap Hari Senin, Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, atau memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10 November. Seluruh hadirin yang mengikuti upacara sebelumnya mempersiapkan topeng transparan yang jauh dari cerminan pribadi. Topeng itu digunakan untuk menipu Sang Saka Merah Putih yang berkibar di bawah langit jingga, tapi tidak ruhnya dan ruh para pahlawan pun menengok keberadaan hajat mereka. Mereka yang gugur dan tak sempat menghirup kebebasan dengan ikhlas menyerahkan Indonesia kepada generasi penerus yang lihai menipu. Menipu diri dan pahlawannya, namun tidak Tuhan karena Dia Maha Tahu segalanya apa yang nampak dan tersembunyi.

Pemikiran panjang yang dijual untuk sebuah teori menghasilkan kesia – siaan belaka bila nihil praktik dan penyesalan yang bohong dari penikmat kemerdekaan adalah sebuah kenyataan, dan kekecewaan mendalam yang direguk oleh para pendahulu menjadi PR kita bersama.

Teori membumi yang gaungnya terdapat pada sistem ketatanegaraan atau dalam buku-buku mata pelajaran pada masanya menghasilkan riuh sorak – sorai sebentar yang berkawin dengan satu tepuk tangan untuk mendapatkan predikat pencetus atau titel sebagai orang bijak dan pandai. Pemakaian teori tersebut hanya bersifat sementara tanpa memberikan motivasi berkepanjangan apalagi dampak positif yang bisa dibawa dalam kurun waktu lama. Ibarat produk makanan terdapat tanggal kadaluarsanya. Hasil dari teori pada akhirnya hanya sebatas teori.

Di jaman ini banyak pengusung yang mengusung aturan hiperbola tanpa bukti dinamika apalagi progresivitas. Semua cuma pepesan kosong.

Apa yang diulas di atas hanya sekadar pembahasan sederhana tanpa perlu diperdebatkan, karena yang perlu lebih diperhatikan adalah bagaimana kehidupan selanjutnya dapat berjalan secara seimbang.

Hidup bukan melulu membicarakan soal hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya. Kehidupan manusia yang seimbang adalah hasil dari hubungan baik yang terjalin antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya yang akan membentuk sebuah rantai keseimbangan.

Kembali pada persoalan SDA yang kerap menelan manusia sebagai bentuk pemberontakan menjadi bukti bahwa alam berbicara dan mampu melakukan sesuatu sesuai kehendakNya. Cukup sepele ketika sebuah plastik ada di pinggir jalan. Cukup sepele juga manakala kaleng kosong ada di bawah pohon dan hal yang tidak terlalu menjadi masalah saat tumpukan sampah bergumul di tepi sungai. Bukankah begitu? Ini salah satu contoh yang terlihat sangat sederhana dan seringkali disepelekan, karena menganggap benda mati tidak layak diberikan penghargaan atas keberadaannya dan hanya akan menjadi sampah yang pada akhirnya nampak layak dibuang di manapun. Cuma sampah!

Ya, sampah hanyalah sampah, barang tak berguna. Padahal ketika masih berguna begitu digenggam erat pemiliknya hingga acuh terhadap cap pelit yang dipikulnya. Sampah, santai menanggapinya dan pembiaran dibiarkan berkeliaran di mana – mana menjalin sebuah kerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yakni polusi, merupakan musuh terbesar bagi bumi.

Manusia yang sadar bahwa tenggang waktu yang dimiliki generasi selanjutnya berada di tangan generasi sebelumnya pasti tergerak hatinya untuk mau melakukan perubahan lingkungan dan merealisasikan ke dalam pergerakan nyata.

Menanggapi persoalan semacam ini bukanlah hal mudah. Terlihat ringan, namun sebetulnya bila didiamkan akan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Polusi air yang kian meningkat membuat daftar panjang sederet penyakit muncul menggerogoti manusia. Air yang menjadi tumpuan hidup manusia sudah tidak mendapatkan penghargaan lagi dengan keberadaannya. Padahal tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Makan, minum, mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya melibatkan peran air yang sering diabaikan kebersihannya oleh masyarakat.

Pengabaian yang terjadi terus – menerus terhadap air, sehingga sampah menumpuk di sungai, limbah pabrik, dan pencemaran lainnya yang hanya sedikit memberikan ruang bagi makhluk hidup di air untuk bertahan hidup lebih lama sontak membuat air murka. Banjir sering terjadi di mana – mana sebagai akibat dari ulah manusia yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan. Apatis terhadap kebersihan lingkungan.

Ada akibat pasti ada sebab. Air yang tenang mencerminkan masyarakat ramah lingkungan. Air yang meregang mencerminkan masyarakat apatis lingkungan.

Kondisi lain yang juga mencerminkan manusia apatis terhadap alam adalah dengan penggundulan hutan tanpa adanya penanaman pohon kembali (reboisasi) dan pembabatan gunung atau bukit yang diambil batunya untuk dijadikan bahan membuat pondasi bangunan atau nisan dan sebagainya. Nisan yang banyak terbuat dari bahan batu kelak akan menghiasi makam para penghuninya yang dulu tamak terhadap kekayaan alam Indonesia.

Jangan heran bila sering terjadi longsor, karena ini pula akibat dari pencurian besar – besaran yang dilakukan serentak oleh manusia – manusia serakah secara transparan.

Alam sebagai suatu amanat dan usia yang harus ditapaki dengan penuh rasa tanggung jawab belum menjadi hal utama yang sepatutnya disyukuri. Pribadi yang lahir dan tumbuh dengan kesadaran sebagai khalifah di muka bumi tentu secara maksimal akan melakukan hal – hal positif demi menjaga keseimbangan hidup.

Makhluk hidup maupun benda mati perlu mendapatkan penghargaan. Semua yang ada di alam semesta baik tersimpan di bumi maupun langit adalah titipan Allah yang perlu disyukuri dan dijaga keberadaannya.

Berbagai bencana alam yang terjadi rupanya tak juga membuat manusia jera dan usia bumi yang kian menua tak jua membuat mata hati manusia terbuka. Justru kian serakah. Kian menjadi. Membuat bumi kian rusak hingga pada masanya mencapai titik kemusnahan.

Lalu apakah kita akan diam dan membiarkan mereka meramu berbagai strategi untuk sebuah kehancuran?