Jemariku bergerak dengan sendirinya. Merangkai kata demi kata untuk sebuah makna, setelah kulihat matanya teduh dan begitu luas. Aku berenang di dalamnya, tapi ketika kuselami, aku hanya dapat mengitari permukaannya saja. Aku terlalu takut untuk sampai ke dasar karena di dalamnya telah hidup seekor paus betina cantik.

Paus itu begitu berbahagia berenang-renang di dalamnya. Seakan hanya dirinya penghuni kawasan itu. Paus itu terus berenang. Berkeliling tanpa lelah, tanpa batas. Kedua matanya tak pernah memerah meski seharian siripnya merentang. Semakin lama siripnya merentang, kedua mata paus itu justru semakin nyalang.

Kalaupun paus betina harus pulang ke kandang, itu hanya untuk sekadar bercermin. Menata diri agar terlihat tetap bersih dan cantik menarik. Berdandan lama di depan cermin sudah menjadi kewajiban baginya sebelum berenang di kawasan luas. Dirinya harus memastikan lebih dulu akan kepantasan penampilan sebelum akhirnya kedua sirip direntangkan. Ia selalu berusaha memberikan tampilan terbaik demi kawasan yang tak henti memeluk.

Sekali waktu ketika kupaksakan diri berenang lebih dalam, aku sempat bertemu dengan paus cantik itu. Paus cantik itu tidak galak, namun karena dirinyalah penguasa kawasan maka aku pun jadi sungkan dan takut berbuat kesalahan di daerah kekuasaannya.

Saat bertemu, dirinya tersenyum sambil terus berenang menjauhiku. Ia memang paus yang sangat cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan paus-paus berjenis kelamin betina pada umumnya. Paus-paus betina yang biasa kulihat di sirkus-sirkus atau dalam tayangan televisi tak bisa menandingi kecantikan paus betina yang kulihat sendiri dengan kedua mataku kala berselam di kawasan luas. Mungkin paus-paus betina di sirkus-sirkus atau dalam tayangan televisi tidak pernah berdandan sebelum tampil. Beda dengan paus betina cantik yang kutemui sendiri, selalu eksis di depan cermin sebelum tampil di kawasannya sendiri.

Sebagian orang tahu, setelah aku berselam, aku mengalami kegalauan luar biasa.

“Jangan lekas mundur! Baru ketemu sekali.”

Begitu kata Lidya, kawan terdekatku.

“Coba terus. Kan belum begitu dalam. Lagian dia emang dekat dengan siapapun. Mau cewek atau cowok. Mau cantik, ganteng, jelek, putih, hitam, kaya atau miskin, dia ngga suka beda-bedain. Masih ada peluang buat dapetin cintanya.”

Itu kata Sinta, kawanku yang lain.

“Tapi yang ini beda. Paling dekat. Ke mana-mana bareng. Jalan berdua. Bercanda, ketawa-tawa. Cuma berdua!”

“Tapi ke toilet dan masuk kamar ngga bareng kan? Ngga berdua kan?” ujar Lidya. Memang sih kawan yang satu ini suka ceplas-ceplos kalau ngomong. Suka ngga disaring dulu.

“Ngaco! Ya nggalah, kecuali mereka udah married.”

“Nah, itu tahu. Santai aja kali neng. Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih punya kesempatan. Dia masih bisa jatuh cinta sama yang lain termasuk kamu. Cinta itu harus diperjuangkan!” ucap Sinta, kawanku yang hidupnya selalu dipenuhi motivasi dalam diri.

Mereka terus meyakinkanku untuk mendekati Revan. Pria yang membuatku diam seribu bahasa ketika kami bertemu, membuatku kikuk jika didekati, dan membuatku salah tingkah saat kami bicara berdua. Pria yang membuatku menahan rasa cinta sekaligus rasa kecewa.

“Aku ngga mau jadi perusak hubungan orang.”

“Emang kamu perusak? Kamu udah pernah merusak? Hallo Intan, jangan terlalu mendramatisir keadaan. Kita kan ngga nyuruh kamu untuk merusak. Kita hanya menyarankan agar kamu mendekati Revan. Dekat ngga salah kan? Yang salah itu kalau Revan udah mulai suka sama kamu dan kalian pacaran di belakang Sera. Tapi kalau kalian dekat dan Revan mulai suka sama kamu terus Revan mutusin Sera demi kamu, ngga salah kan? Ngga merusak kan?” tambah Lidya mengompori.

“Sama aja merusak Lid! Redaksinya aja yang beda.”

“Eh, tapi Intan, di jaman sekarang ini urusan rusak-merusak itu udah biasa. Lumrah! Pejabat aja merusak jabatannya sendiri kok. Pemerintah merusak negaranya sendiri. Itu hal yang efeknya luar biasa luas loh dan dilakukan bukan hanya oleh satu orang. Nah, kamu juga bisa. Apalagi efeknya ngga ada kan?” kata Sinta sok-sokan menyambungkan dengan dunia politik dan sepertinya tidak ada hubungan sama sekali dengan kasus yang sedang kualami.

“Ngga ada dari hongkong! Sinta, efeknya itu udah jelas. Kalau aku sampai dekat dengan Revan apalagi sampai dia tahu perasaan aku terus Sera tahu, perang dunia ketiga bisa terjadi. Ngga! Pokoknya aku ngga mau! Sera itu gadis cantik dan baik. Mereka cocok kok.”

“Tapi kamu ngga bisa mendam terus. Kamu harus bilang sama Revan sejujurnya.” Lidya mulai memaksa.

“Benar banget! Kita dukung kok kalau kamu mau jujur sama dia. Kalau perlu aku dan Lidya bantu kamu supaya kalian bisa semakin dekat, jadi peluang kamu untuk jujur semakin terbuka lebar.” Sinta pun ikut-ikutan memaksa.

“Ngga perlu cin. Makasih.”

Mereka memang menggebu jika kami sudah membicarakan Revan. Pasalnya mereka tahu bahwa aku memendam rasa cinta selama bertahun-tahun lamanya. Lidya dan Sinta memang kawan terbaikku. Kedekatan kami terjalin sejak kecil, karena mamah kami memang berkawan. Dulu setiap ada acara arisan mamah kami selalu mengajak kami. Aku, Lidya, dan Sinta selalu bertemu. Beranjak remaja pun kami masih sering bertemu, tapi bukan di acara arisan, melainkan acara yang kami buat sendiri.

Kedekatan yang terjalin di antara kami membuat kami saling terbuka satu sama lain. Mereka lebih dulu punya kekasih hati, sedangkan aku sampai sekarang masih sendiri. Menunggu cinta yang entah kapan datang menghampiri.

Mereka sering mengenalkanku pada beberapa pria yang masih menjomblo. Berharap aku bisa jatuh hati pada salah seorang di antaranya, tapi itu tetap sia-sia. Tak seorang pun pria mampu menggantikan Revan di hatiku sampai saat ini. Walaupun Revan tak pernah tahu.

Untuk Revan, hanya kata demi kata bisa kususun, hingga membentuk baris-baris, dan menjadi bait-bait, lalu utuh dalam satu kesatuan disebut puisi. Hanya itu dapat kusuguhkan untuk cinta yang masih terpendam dan hanya itulah yang mampu membalaskan rasa kecewa yang tak kunjung kutemukan titik biasnya. Dengan menulis puisi, aku bercinta sekaligus berontak di dalamnya. Dengan puisi pulalah, dahagaku akan gelora begitu sempurna menjadi rinai di kedalaman hati.

Jika Revan bisa lebih peka, mungkin ia akan tahu tentang bahasa hati tak terlisankan dan cukuplah mata bicara juga isyarat yang terus bergerak menari menyusuri tepian hatinya, tapi itu semua tetap tak bisa ia rasakan.

Secara sengaja kutimbun rasa cintaku terhadapnya. Bukan karena aku takut akan sebuah penolakan, tapi karena aku tahu ia telah memiliki hati lain dan hatinya juga telah dimiliki. Sekian lama kucurahkan rasa pada kata yang terlampau memujaku. Ya, hanya itu dapat kulakukan untuk membuktikan rasa cintaku terlalu dalam.