Retno Ningsih menjelaskan bahwa berdasarkan data kuantitatif peresiko HIV-AIDS meningkat. Ini disebabkan karena bertambahnya kesadaran masyarakat akan perlunya tes HIV terlebih pada mereka yang berisiko HIV-AIDS.

Berbagai upaya untuk menekan angka perisiko HIV-AIDS pun dilakukan oleh KPAD Kota Cirebon. Salah satunya dengan menghadirkan warga peduli AIDS yang bertugas mengedukasi masyarakat di sekitar dan memetakan masalah yang ada di wilayah masing-masing, misalnya untuk wilayah Harjamukti yang memang hotspotnya penularan HIV melalui jarum suntik serta narkoba dari jarum suntik. Daerah lainnya, seperti Lemah Wungkuk dan Pekalipan yang banyak beredar obat-obatan terlarang dan berpotensi naik level narkoba.

“Bila ada warga yang terindikasi HIV-AIDS, maka akan dirujuk ke puskesmas terdekat atau Layanan Komperhensif Berkesinambungan (LKB). Di Kota Cirebon ada lima, yakni Klinik Intan di Pekiringan, Puskesmas Jagasatru, Kejaksan, Kesunean, dan Harjamukti. Ada juga petugas penjangkau yang berada di LSM,” terang Retno.

Langkah lain yang direalisasikan oleh KPAD ialah melakukan pengkaderan bagi anak remaja sehingga mereka bisa menjadi tutor kepada teman sebayanya. Selain itu, ada pula perda tentang calon pengantin yang tidak dimiliki oleh wilayah lain, yaitu bagaimana mengajak para calon pengantin agar mau memeriksakan HIVnya.

“Alhamdulillah dalam setahun terdapat lima kasus di kalangan calon pengantIn ditemukan. Terobosan ini diharapkan dapat menghambat penularan terhadap pasangan atau dari ibu kepada anak,” jelas Ibu Sri selaku Ketua Komisi Penanggulangan HIV-AIDS Kota Cirebon.

Beliau juga memaparkan bahwa masyarakat yang terkena HIV-AIDS seperti gunung es. Peningkatan data kuantitatif HIV-AIDS merupakan keberhasilan, karena bisa memecah gunung es.

“Data yang ditemukan hari ini jauh lebih sedikit dibandingkan data sebenarnya, karena berdasarkan keinginan sendiri untuk memeriksakannya atau berdasarkan pendampingan yang dilakukan teman-teman LSM dan juga kami agar para remaja atau siapa pun yang berperilaku berisiko ini mau memeriksakan diri,” ujar beliau.

Penemuan kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahun ini semakin bermunculan dan kasus semacam ini bisa menjadi pemicu terjadinya penularan infeksi seksual maupun HIV, pun dengan kecanggihan teknologi yang memudahkan para remaja mengakses video ponografi bisa memicu perilaku menyimpang di kalangan remaja yang berdampak besar pada penularan HIV-AIDS.

“Ini tentu menjadi perhatian besar bukan hanya oleh KPAD, tapi juga berbagai elemen. KPAD sudah bekerja sama dengan beberapa dinas terkait. Sehingga bicara HIV bukan lagi soal penanggulangan, tapi bersama-sama mencegah para remaja melakukan seks yang berisiko,” imbuh beliau.

Tak hanya itu, beberapa kasus yang masuk ke meja KPAD lainnya, yakni persoalan anak yang dilacurkan oleh orang dewasa dan ketika kembali ke Cirebon sudah terinveksi HIV-AIDS, namun di Kota Cirebon sendiri belum ditemukan kasus anak dilacurkan oleh kedua orang tuanya, meski memang ada beberapa perempuan menjadi pekerja seks dan mereka tetap memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya.

KPAD Kota Cirebon menargetkan di tahun 2030 sudah tidak ada lagi masyarakat yang terinveksi HIV-AIDS atau meninggal karena AIDS.

Ditanya perihal alasan mengapa beliau berpuluh-puluh tahun masih bertahan dan tetap mengabdi di dunia sosial, Ibu Sri mengatakan bahwa mungkin sudah menjadi fashionnya dan panggilan hati selain dirinya memiliki rasa cinta terhadap para remaja dan anak-anak.

“Semoga ke depan Kota Cirebon bisa menjadi kota yang ramah terhadap anak, bersih terhadap perilaku seks yang berisiko terutama di kalangan anak,” tutur beliau.