Banyak Orang Termakan Hoax, Tanda Dunia Pendidikan Kita Mundur

Pendidikan menjadi ujung tombak kemajuan peradaban bagi suatu negara. Baik atau tidaknya sebuah negara tergantung pada kualitas pendidikannya. Pendidikan baik, negara pun akan baik. Pendidikan rusak, negara pun akan rusak.

Begitulah entitas daripada pentingnya antara pendidikan, serta output pemerintahan berupa negara yang saling berkesinambungan secara holistik. Maka betul saya kira apa yang dikatakan oleh lagu Indonesia Raya dalam salah satu baitnya, “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.

Secara leksikal maksud daripada frasa “Bangunlah jiwanya” mengandung arti untuk membangun kecerdasan ruhaniah, yang mana dalam konsep Taksonomi Bloom sering kita kenal sebagai Four Knowledge (Intelektual, emosional, spiritual, dan psikomotorik). Konsep ini digagas oleh pakar pendidikan Amerika Serikat, Benyamin Bloom.

Tapi pertanyaannya sudahkah Bangsa Indonesia peduli dengan upaya pembangunan jiwa masyarakatnya, yang dimaksudkan ‘jiwa’ di sini adalah pendidikannya. Untuk menjawab hal demikian mari kita coba melihat peran seorang siswa setelah lulus, apakah berhasil memenuhi ekspektasi sekolah atau tidak.

Pertama, sekolah menetapkan capaian supaya lulusannya dapat mengkritisi berbagai informasi yang berkembang di masyarakat. Untuk masalah yang satu ini, dapat dibilang dunia pendidikan kita masih jauh tertinggal.

Para peserta didik yang kita miliki sangat rendah sekali daya nalar kritisnya, hingga berbagai informasi hoax yang beredar di dunia maya pun mampu mengelabuhi ratusan ribu orang yang telah ‘makan bangku sekolahan’ sekalipun. Survei terbaru dari Forum Indonesian Hoaxes menyebutkan bahwa jumlah share konten hoax di media sosial mencapai kurang lebih 234 ribu per satu postingan hoax yang dibagi.

Mereka yang banyak terperangkap oleh berbagai informasi hoax tentu menjadi semiotika bahwa sistem pendidikan kita gagal dalam penalaran. Gagalnya dalam melakukan penalaran ini lantaran para guru terlalu mengedepankan sistem pembelajaran satu arah. Di mana guru menyampaikan materi, sementara murid hanya menerima saja materi tersebut tanpa mengkritisinya.

Oleh ahli pendidikan Poulo Freire, model pendidikan buruk semacam ini disebut sebagai sistem pendidikan model cucuk kebo. Di mana murid selalu mempersepsikan guru sebagai kebenaran mutlak yang tak bisa dibantah.

Alhasil murid tak pernah mampu mengkritisi berbagai informasi yang masuk ke telinganya. Karena di sekolah sudah biasa dididik untuk bermental sendiko dawuh, atau yang biasa disebut Karl Max sebagai kegiatan berdialektika. Karena tidak biasa berdialektika itulah mengapa para pelajar Indonesia mudah sekali membagi suatu informasi tanpa mengklarifikasi terlebih dahulu akan benar atau tidaknya informasi tersebut. Daya kritisnya hilang, sehingga gampang dicucuk hidungnya macam kerbau.

Kondisi ini semakin diperparah oleh minat baca masyarakat kita yang rendah karena angka buta hurufnya yang bisa dibilang masih tinggi. Menurut data dari Kompas (29/08/2016) menyebutkan bahwa minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001 saja. Itu artinya dari 1.000 penduduk di negeri ini, hanya ada satu warga saja yang tertarik untuk membaca.

Penulis : Afip Maulana