Otodidak Menjadi Da’i

Sanad Da'i Sosial Media
Sanad Keilmuan Da’i Internet

Di zaman yang semakin maju ini, berbagai hal berkembang dengan pesat salah satunya di bidang dakwah. Untuk mendapatkan ilmu agama, kita tidak perlu lagi pergi ke surau saat maghrib tiba atau pergi ke masjid untuk menghadiri pengajian, dengan membuka sosial media saja kita sudah bisa menemukan materi-materi keagamaan dari banyak pendakwah dengan metode yang “katanya” lebih bisa diterima oleh berbagai kalangan khususnya kaum millenial. Dakwah model ini tentu semakin digandrungi karena tidak menyita banyak waktu dan tentu lebih efisien. Dikemas dengan kata-kata yang dapat menggugah semangat beragama yang tinggi menjadikan dakwah lewat media semakin menjamur. Semakin hari semakin banyak bermunculan “ustad sosmed” dengan target kaum milenial, bertujuan mengembalikan anak muda masa kini yang notabene tidak begitu perhatian pada ajaran agama, mereka hanya sekedar menjalankan kewajiban walau tak jarang melalaikannya.

Para remaja pun tentu tertarik dengan dakwah modern ini, tak sedikit pula dari mereka yang tergugah hatinya dan “bertaubat” setelah menyimak materi-materi dakwah dari para ustad panutan mereka. Mirisnya, hanya berbekal ilmu agama yang mereka dapat dari sosial media mereka berani untuk “berdakwah”. Dengan prinsip “sampaikanlah walau satu ayat” membuat mereka bersemangat membagikan ilmu yang mereka dapat tanpa mencari kejelasan sanad dari materi dakwah tersebut. Padahal seperti yang kita tau kejelasan sanad sangat penting sebagai jalan keilmuan kita kepada Rasul SAW. Tidak bisa kita langsung sampai ke Rasul tanpa terlebih dulu kepada guru kita, para ulama, thabi’in hingga para sahabat.

Yang membuat saya terkejut lagi, ada salah satu ustad sosmed yang ternyata belajar agama secara otodidak. Dengan berlatar belakang sebagai preman, dia kemudian merasa terketuk hatinya untuk kembali ke jalan yang benar, dia mulai mencari ilmu agama hanya dengan membaca buku dan memulai berdakwah. Dia merasa cukup hanya dengan buku-buku yang dibacanya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin ilmu agama yang sebegitu dalam bisa kita pelajari sendiri hanya dengan membaca buku tanpa bimbingan seorang guru? Sedangkan guru dalam belajar ilmu agama sangatlah penting untuk kejelasan sanad tersebut. Saya khawatir jika nantinya semakin banyak bermunculan “dai otodidak” ini, kemampuan akal manusia sangatlah terbatas, sangat sulit memahami dan menembus hakikat agama dengan akal pikirannya sendiri, kesalahan penafsiran sangat mungkin terjadi dan jika kesalahan tersebut semakin banyak dibagikan tentu akan berbahaya bagi umat beragama ke depannya. Karena keheranan ini saya berdiskusi dengan seorang teman lulusan pesantren mengenai hal tersebut dan dia berpendapat bahwa sah-sah saja jika ustad tersebut membagikan pengalamannya kembali kepada Tuhan yang bertujuan untuk menginsipirasi banyak orang, namun jika ingin berdakwah secara sungguh-sungguh dia tidak cukup hanya denga mengkhatam buku-buku agama tanpa bimbingan seorang guru.

Berguru pada “kyai kampung” bukanlah hal yang membosankan, mengaji kitab kuning karya para ulama kepada ustadz di pesantren bukanlah hal yang kuno. Justru dengan menimba ilmu kapada para kyai kita bukan hanya mendapat ilmu yang pasti serta sanad yang jelas, kita juga bisa mendapat barokah dari sang kyai yang semoga bisa mempermudah urusan kira ke depannya yang tentu tidak akan kita dapat saat menimba ilmu secara otodidak.

Wallahu ‘alam bisshowab.