“Lo-gue” dan Penggunaannya yang Salah Tempat

“Lo besok dateng sama siapa?”, “Dia maunya sama gue, jeh”.

Penggunaan kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga bentuk tunggal bisa berbeda di setiap daerah di Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, orang pertama bisa menggunakan kata ganti aku, hamba, saya; orang kedua menggunakan kamu, anda; orang ketiga menggunakan dia. Berbeda dengan penggunaan bahasa ibu, masing-masing daerah punya kata gantinya tersendiri. Bahasa Sunda dengan abdi-anjeunnya. Bahasa Bali dengan titiang-ragenya. Bahasa Betawi dengan lo-guenya. Meski bahasa Cirebon nyerempet-nyerempet sedikit sama seperti bahasa Jawa, penggunaan kata ganti dalam bahasa Cirebon nyatanya berbeda dengan bahasa Jawa. Jika bahasa Jawa terkenal dengan aku-koenya, bahasa Cirebon menggunakan kita-ira sebagai kata ganti.

Penggunaan kata ganti ini juga bisa dipadukan dengan penggunaan bahasa Indonesia. “Ira besok ada acara nggak?”, “Kita besok mau ke kampus, ada acara seminar”. “Kita” dalam bahasa Cirebon berbeda makna dengan “Kita” dalam bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Indonesia sebagai kata ganti orang pertama jamak, dalam bahasa Cirebon berarti “saya”, yang juga sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Sedangkan “Ira” berarti “kamu”, kata ganti orang kedua tunggal. Seperti halnya bahasa Jawa yang memiliki tingkatan, bahasa Cirebon pun demikian. Kita-ira digunakan dengan teman sebaya, sedangkan untuk berbicara dengan yang lebih tua bisa dengan kula-panjenengan. Selain kita, isun pun bisa digunakan sebagai kata ganti, namun penggunaan kita lebih familiar di kalangan masyarakat Cirebon.

Meski demikian, sekarang ini sering sekali saya mendengar anak-anak muda Cirebon menggunakan lo-gue sebagai kata ganti dalam percakapan mereka. Penggunaan ­lo-gue mungkin terpengaruh oleh kultur orang-orang ibukota melalui film, youtube, juga sosial media. Nggak salah memang, tapi rasanya agak kurang nyaman saat mendengar obrolan dengan penggunaan lo-gue yang dilakukan oleh orang Cirebon di Cirebon. Mengingat kebiasaan saya ―dan orang Cirebon kebanyakan― menggunakan kita-ira. Saya kemudian menganggapnya sebagai “salah tempat”.

Teman saya (laki-laki) kuliah di Jogja, selama di kota Pelajar itu dia menggunakan aku-koe sebagai kata ganti. Setiap kali dia pulang ke Cirebon kami menyempatkan untuk bertemu. Dan saat ngobrol, dia masih dengan fasih mengucapkan kita-ira. Tanyalah saya sama dia “Ira di Jogja pakai kita-ira juga? Ko masih fasih banget”, dia bilang “Ya nggak, di sana ngga ada kita-ira, pakainya aku-kamu aku-koe”, saya tanya lagi “Walaupun ke sesama cowo?”, dia jawab “Lah iya, di sana umumnya gitu, tapi kalo aku-kamuan di sini ya geli, jangankan sama cowo, sama cewe aja kayanya gak pas aja, kaya sok imut, lebih nyaman pakai kita-ira”. Sesekali dia keceplosan dengan nyebut dirinya “aku” tapi buru-buru dia meralat jadi “kita”.

Saya sendiri saat mengobrol dengan teman kampus yang notabene bukan asli Cirebon menghindari penggunaan kita-ira. Selain tidak sekufu, kalau dalam Bahasa Arab, saya pribadi merasa kurang tepat kalau menggunakan kita-ira sedangkan teman saya biasanya menggunakan aku-kamu, saya-kamu, bahkan menggunakan kata ganti dengan sebut nama. Saya berusaha menyesuaikan lawan bicara dalam penggunaan kata ganti. Dan bahkan saat mendengar teman Sundanese pakai kita-ira dengan logat sundanya, agaknya kurang enak didengar. Kamu bisa menggunakan lo-gue saat di Jakarta misalnya, menyesuaikan lingkungan dan kebiasaan orang sekitar. Kalau orang Jakarta baper di aku-kamuin orang Jogja, orang Cirebon juga cringe di lo-guein sesama orang Cirebon. Maaf ya, guys, tapi ini jujur.

Penggunaan lo-gue di Cirebon saat mengobrol dengan orang Cirebon memang tidak salah, tapi “membedakan diri” di antara mayoritas masyarakat tidak membuat kamu menjadi keren, guys. Apa salahnya dengan kita-ira? Itu identitas sebagai orang Cirebon. Orang daerah lain bahkan nggak ngerti apa itu “Ira”. Wong kita-ira Bahasa resmi daerah Cirebon jeh, bukan Bahasa kampung yang perlu kamu hindari saat mengobrol di daerahmu sendiri.