DEMOKRASI DI BULAN RAMADHAN

Karyneiko
  • 10 bulan
  • 166
  • 0

Oleh : Sutan Aji Nugraha

Memang benar, sebagian besar kaum muslimin dan muslimah pada saat menyambut bulan suci ramadhan tiap tahunnya hampir belum memiliki persiapan sama sekali.

Sehingga mereka merasakan bulan ramadhan hanya sebuah event tahunan, tak merasakan istimewanya sama sekali. Bahkan banyak dari kita masih melakukan praktik-praktik layaknya bulan-bulan biasa, korupsi, manipulasi, indisipliner dengan alasan sedang berpuasa, lemah, letih dan melemahnya kondisi tubuh secara signifikan.

Hal itu tak dapat dipungkiri, akan tetapi jika melaksanakan kewajiban di bulan ramadhan dengan setulus jiwa dan raga. Untuk itu, seharusnya kita harus mempunyai persiapan-persiapan untuk menjalankan ibadah di bulan ramadhan dengan maksimal sehingga kita akan memahai hukum-hukum syara’ di bulan ramadhan itu sendiri.

Oleh karena itu, persiapan-persiapan yang dilakukan adalah untuk memaksimalkan amalan-amalan ibadah kita karena amalan di bulan ramadhan tak dapat digantikan oleh amalan-amalan pada bulan-bulan lainnya, itulah kenapa bulan ramadhan adalah bulan istimewa di setiap tahunnya.

Persiapan pertama ialah persiapan nafsiyah yakni menyambut dengan hati gembira dikarenakan Allah SWT sehingga dalam melakukan serta menjalankan ibadah dan amalan, tidak merasa terpaksa apalagi terbebani. Persiapan kedua adalah persiapan tsaqafiyah (ilmu) yakni persiapan mendalam di bulan ramadhan secara maksimal dengan pemahaman tentang fiqih puasa itu sendiri sehingga persiapan secara keilmuwan pun tidak kalah pentingnya sebab perbuatan-perbuatan akan dengan sendirinya terkontrol. Dan persiapan ketiga ialah persiapan jasadiyah yakni persiapan bagi kaum muslim agar menjaga kondisi fisiknya secara berkesinambungan agar persiapan-persiapan sebelumnya tidak terlewatkan dan kualitas puasa serta amalan ibadah lainnya menjadi maksimal.

Keutamaan dan keistimewaan di bulan ramadhan telah tersurat dan tersirat bahwa dalam melaksanakan amalan-amalan ibadah yang dilakukan di bulan ini akan dapat keberkahan dan kemuliaan yang tak terhingga karena akan mendapatkan kelipat gandaan dalam hasilnya, begitu pun sebaliknya, jika seseorang melaksanakan perbuatan yang melanggar hukum-hukum syara’ akan mendapat ganjaran dua kali lipat.
Bulan ramadhan memiliki pesan pokok didalamnya, yakni sebuah jihad terbesar melawan hawa nafsu dan sebenarnya mendendalikan hawa nafsu merupakan hal yang mendasar. Bukan berarti kita (Sha’im, orang yang berpuasa) menghilangkan nafsu, melainkan manusia jang sampai dikendalikan oleh nafsu.

Di masa sekarang ini, tantangan daripada pengendalian nafsu atau pengelolaan/manajemen nafsu telah menemukan wujud yang bervariasi. Konsumerisme merupakan hal yang fenomenal seiring dengan kemajuan teknologi keinginan manusia untuk memiliki kebutuhan pun atau materi untuk memenuhi syarat pergaulan yang terus-menerus dibangkitkan ole proyek-proyek iklan yang semakin menggila. Inilah sebuah peradaban terjadi ketika kegilaan manusia atas materi maupun kekuasaan. Dan semua itu, ditempuh “dengan menghalalkan segala cara”.

Upaya pembenaran atau rasionalisasi dan segala macam cara taktik maupun strategi untuk merebut dan mempertahankan serta menutup-nutupi pemerintah agar kekuasaan berjalan sesuai dengan kehendaknya, bukan atas dasar hajat hidup orang banyak yang telah menjadi fokus perhatian catatan politik sekarang ini. Secara tidak langsung, politik itu sendiri menjadi komoditi masyarakat politik sekarang ini. Sehingga politik dan masyarakat politik pun dijadikan alat pembenaran pemerintah yang berkuasa.

Diakui ataupun tidak, hukum adalah sebuah dasar yang mengatur tata cara berperilaku sehingga hukum diberi kedudukan yang tinggi diatas segalanya, begitupun berpuasa hukumnya wajib di bulan ramadhan. Pada dasarnya, hukum tidak dapat berubah sesuai dengan keinginan individu, halal menjadi haram ataupun sebaliknya. Dan bisa diartikan hukum di republik ini memiliki 2 (dua) sifat, yakni sifat sebagai perintah dan sifat sebagai janji. Kedua sifat tersebut memiliki tata nilai yang mempunyai sifat imperatif, yang artinya sebagai perintah yang harus dilaksanakan dengan sungguh dan sebuah janji yang harus ditepati.

Dengan ketimpangan seperti itu, maka masyarakat politik bergegaslah berbenah tingkah laku politik dan meletakkan hukum secara profesional dan proporsional. jangan sampai seperti ungkapan-ungkapan: “Father can do no wrong”, artinya bapak tidak boleh dikoreksi dan disalahkan. “Father knows everything”, artinya bapak dianggap tahu segala-galanya, orang lain tidak boleh membantah. “What the master’s voice”, artinya budaya menunggu “dawuh”, yang berani mendahului akan celaka.

Dengan ilustrasi diatas, maka kita dapat menarik benang merah daripada setiap peristiwa, yakni pengambilan jalan suatu masalah harus diselesaikan secara profesional dan proposional, yang berarti bahwa permasalahan hukum, agama, jangan dicampur adukan didalam persoalan politik begitupun sebaliknya. Apabila terjadi tumpang tindih diantaranya akan menyebabkan perluasan masalah itu sendiri, seperti dalam agama disebutkan bahwa puasa adalah cara pengendalian diri terhadap nafsu yang diantaranya: tidak boleh berdusta, manipulasi, korupsi dan menjaga diri dari sifat-sifat tercela. Oleh karena itu, di luar bulan puasa atau ramadhan, kita diperbolehkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela.

Oleh sebab itu, persoalan-persoalan harus memiliki wiyah-wilayah tersendiri dan lingkupnya masing-masing sehingga menghindari clash effect antara setiap wilayahnya. Berjalanlah sesuai dengan relnya masing-masing, sehingga tidak ada istilah politisasi agama dan hukum, hukum agama lebih dominan dibandingkan hukum negara serta agama dijadikan alat politik untuk pembenaran atau rasionalisasi atas kepentingan untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.

Jadikanlah setiap peristiwa adalah guru yang berharga agar kehidupan di masa yang akan datang akan menjadi lebih adil, sejahtera dan demokratis. Tanggung jawab moral harus disertai di setiap aspeknya.

Penulis adalah Pengamat Politik, tinggal di Kota Cirebon