Cirebon- Dunia semakin tua namun manusia kerap berperilaku gila, berbagai gempuran informasi dari luar di serap tanpa menggunakan akal sehat. Teknologi menuntut percepatan dan evolusi. Disamping berbagai manfaat yang ditawarkan, jika tanpa peran dari pemikiran yang sehat, maka teknologi pun memberikan ancaman nyata terhadap eksistensi nilai luhur budaya dan hukum keseimbangan yang selama ini telah tertata. HAM lagi-lagi muncul sebagai kambing hitam atas pemusnahan kearifan budaya yang telah ada.

Alih-alih memperjuangkan HAM, banyak orang berteriak menuntut kesetaraan derajat, peran dan fungsi secara sporadis, tak terkendali dan sekali lagi tanpa akal sehat. Mereka semakin menggila. Menabrak batas-batas kodrati manusia, hanya untuk dua kata; pengakuan dan kesetaraan! Nilai-nilai norma dan agama dikesampingkan, life style (gaya hidup) seolah bertindak dan berteriak secara leluasa, mengatasnamakan komunitas bahkan solidaritas namun itu diluar batas. Secara kasat mata mereka terlihat berpakaian, tetapi secara batin dan nurani mereka sebenarnya telanjang. Salah satunya adalah kemunculan budaya percintaan antara sesama jenis atau lebih dikenal dengan sebutan lesbian yang menjadi trend tersendiri di kalangan masyarakat khususnya remaja.  Hal ini sudah mulai merambah di Indonesia terutama di kota-kota besar, tak terkecuali Cirebon.  Kondisi tersebut ditandai dengan mulai bermunculannya komunitas-komunitas lesbian, dan kini diperparah dengan cara online.

Gaya Hidup Menyimpang “Buchi dan Femme”
Photo: PixaBay

Istilah lesbian berasal dari bahasa Yunani “Lesbos” yaitu diambil dari nama sebuah pulau di tengah lautan Egeis yang pada zaman dulu dihuni oleh para wanita. Saat itu siapapun yang terlahir di pulau tersebut selalu menggunakan nama “Lesbia” sebagai nama belakang mereka. Hal ini demi menghormati leluhur sebelumnya agar kebiasaan tersebut tidak hilang oleh waktu. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman yang  cenderung menyimpang, menimbulkan klasifikasi tersendiri di kalangan lesbian tersebut.

Adapun klasifikasi  tersebut yaitu “Bucth/Buchi”, adalah seorang wanita yang  cenderung  berperilaku maskulin atau menyerupai laki-laki. Buchi memiliki ciri-ciri berpenampilan seperti laki-laki (mengenakan pakaian serta aksesoris pria dan bertingkah laku seperti lawan jenisnya), memiliki kemiripan bentuk tubuh pria, kebanyakan bersifat posesif dan rela berkelahi untuk mendapatkan pasangannya, menyukai penetrasi (pemuasan) vagina dan pada saat berhubungan butchi cenderung mengarahkan pasangannya sebagai layaknya seorang pria. Klasifikasi selanjutnya adalah femme (feminim), dimana seorang lesbian yang menggunakan segala ciri kewanitaannya, seksualitas dan sensualitas pada dirinya. Seorang femme tidak memiliki perbedaan dalam urusan berpenampilan ataupun berperilaku layaknya seorang wanita pada umumnya hanya perasaannya saja yang tidak memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Selain itu ada pula Andro, yakni sebutan bagi seorang lesbian yang diwaktu-waktu tertentu bisa berperan sebagai buchi atau femme.

Kecenderungan akan perilaku lesbian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor herediter atau keseimbangan hormon pada tubuhnya yang  kurang mendukung umumnya seorang wanita. Selain itu, pengaruh lingkungan atau pola pergaulan juga berperan. Dimana ketika seseorang bergaul dengan teman maupun komunitas lesbian dan menemukan sebuah kenyamanan di dalamnya, maka dampak kepada orang tersebut akan ikut terbawa menjadi seorang lesbian. Faktor selanjutnya yaitu karena pengalaman traumatis dimana seorang wanita yang memiliki pengalaman buruk terhadap seorang laki-laki sehingga menimbulkan kebencian yang mendalam kepada semua laki-laki. Faktor keluarga juga sangat menentukan, dimana seorang sering memiliki permasalahan dalam keluarga dan tidak diberikan perhatian yang cukup dari kedua orangtua, sehingga menyebabkan orang tersebut lebih nyaman ketika berkeluh kesah dengan teman wanitanya ketimbang dengan orangtuanya sendiri. Selain itu juga didikan dari orangtua yang mengharapkan anak perempuannya menjadi sosok yang tangguh dan dapat diandalkan di dalam keluarga seperti layaknya anak laki-laki, hal ini dapat menimbulkan perubahan pola pikir seorang anak perempuan menjadi seperti laki-laki karena merasa nyaman akan kondisi tersebut.

Peran serta orangtua, masyarakat dan pemerintah sangat penting dalam menangani masalah ini. Bagi orangtua sangatlah penting  untuk menanamkan pengetahuan agama serta nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dimulai sejak anak mereka berusia dini. Selain itu dengan memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya dapat menghindarkan anak dari pengaruh pergaulan-pergaulan negatif.  Peran masyarakat untuk tidak mengucilkan namun dengan  membina maupun memberikan pengarahan-pengarahan positif  kepada seseorang ataupun komunitas lesbian diharapkan dapat memberikan dukungan moral untuk membimbing orang atau komunitas tersebut menuju kearah berperilaku yang semestinya.  Lesbian ataupun homoseksual (laki-laki pecinta sesama jenis) merupakan sebuah penyakit sosial yang dapat menular di masyarakat, oleh karena itu pemerintah diharapkan turut andil untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini. Dengan cara memberikan sosialisasi di tengah-tengah masyarakat mengenai dampak buruk penyimpangan seksual, membentuk pusat-pusat rehabilitasi bagi kaum lesbian dan homoseksual, dan yang terpenting sebisa mungkin adanya pencegahan terhadap upaya-upaya dari kaum lesbian ataupun homoseksual dalam membentuk sebuah kelompok/organisasi yang mana upaya tersebut dapat memperkokoh eksistensi dan solidaritas mereka.

Oleh karena itu diharapkan khususnya bagi seluruh generasi muda Indonesia, untuk selalu memegang  teguh  prinsip keagamaannya serta nilai-nilai norma bangsanya. Karena moral yang sehat dan mental  yang kuat adalah identitas dan salah satu modal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

(Referensi: dari berbagai sumber)

Featured image by John Tregoning / Flickr

6055 Total Views 1 Views Today