Sejak ditinggal mati suaminya, Imah – nama panggilan Marhamah – sering kali diserang kesepian. Apalagi tiga anak perempuannya sudah berumah tangga dan punya kehidupan sendiri. Tidak ada satupun yang memilih tinggal dengan wanita pensiunan guru itu. Anak sulungnya, Ratna tinggal di Malang karena suaminya yang pengusaha bunga. Ia memilih tinggal dikota sejuk itu agar dapat membangun kehidupan dan dekat dengan suaminya. Imah paham makanya dia mendukung pilihan Ratna. Yang nomor dua, Ira, berumah di Depok dan si bungsu Lani yang baru tiga bulan lalu menikah, sekarang ikut suaminya ke Banjaramasin.

Rumah Imah tidak telalu besar. Berada di tengah antara jejeran 12 rumah lainnya. Imah hanya ditemani Sis, pembantu setia yang sudah tahunan ikut dengannya. Sis adalah penjaga, pelayan sekaligus perawat untuk Imah dan berbagai binatang peliharaannya. Dirumah itu ada dua ekor anjing jenis chi hwa hwa, beberapa burung kicau, iguana dan ada beberapa hamster yang terkurung dalam kandang apik yang diletakan di pojok ruang tamu. Janda itu hanya mampu menikmati kelucuan mereka dan sama sekali tidak suka merawat mereka. Jangankan memandikan, sekedar urusan memberi makan saja ia enggan. Sis lah yang setiap hari menjaga hidup binatang-binatang itu, khususnya kucing kesayangan Imah yang terbilang besar dan berbulu lebat, meski Sis sama sekali tidak punya kepentingan dengan kucing itu.

 

**

 

Jam Sembilan malam.

Hari itu kamis ketiga bulan November. Sejak sore kucing Imah ribut ngeang-ngeong. Kaki lembutnya dipukul-pukulkan ke kawat kandang yang membatasi hidup mewahnya dengan kebebasan yang hanya berjarak dua senti dari matanya. Kucing itu terus berteriak. Kadang terdengar garang seperti marah, kadang terdengar sangat memelas.

“Tadi sore si Jhon sudah kamu kasih makan, Sis?” tanya Imah dari dalam kamarnya.

“Sudah bu, air minumnya juga sudah saya ganti,” jawab Sis setengah teriak dari dapur.

“Coba kamu lihat, kenapa dia ribut terus begitu?” perintah Imah.

“Sakit barang kali bu,” jawab Sis memberikan masukan. Anak itu mengelap piring makan senabis dicuci.

“Ya kamu lihat dong. Barangkali bener sakit,” tegas Imah.

Sis paham dengan perintah itu, namun sebelum melaksanakan perintah majikannya, ia pergi ke kamarnya mengambil sarung tangan kulit tebal. Entah untuk apa padahal dia cuma disuruh memeriksa saja. Saat ia menunduk untuk mengambil sarung tangan yang ada dibawah meja, tanpa sebab tiba-tiba cermin yang digantung dibelakang pintu kamarnya jatuh dan pecah. Sis teriak dan itu mengejutkan Imah yang santai duduk di depan tv dikamarnya.

“Ada apa Sis?” tanya Imah

“Cermin saya pecah bu,” jawab Sis.

“Kok bisa?”

“Jatuh.” Jawab Sis agak takut.

“Kok bisa?!!” tanya Imah dengan agak membentak.

“Saya tidak tahu bu, tiba- tiba saja jatuh,” jelasnya.

Dengan agak kesal Imah pergi kekamar Sis dan melihat sendiri cermin yang berantakan dilantai kamar.

“Bersihkan dulu nanti kena kakimu,”perintahnya

“Iya bu,” jawab Sis sambil pergi kedapur mengambil sapu dan serok sampah. Sementara Imah kembali ke kamarnya melanjut nonton tv. Sesaat kemudian ia seperti tersadar. Karena tiba-tiba suasana menjadi sepi. Suara tv menghilang, padahal menyala. Orang jualan yang biasanya mondar mandir di depan rumah juga tidak ada yang lewat. Yang lebih membuat Imah terheran-heran, kucingnya tidak lagi ngeang-ngeong.

“Sis !”

“Iya Bu..”

“Kamu merasakan sesuatu?” tanyanya saat pembantunya itu sedang menyapu kamar.

“Merasakan apa? Tanya Sis heran.

“Coba, nyapunya berhenti dulu…..kerasa?”

“Iya bu. Kok jadi sepi,” jawab Sis

“Ada apa ya Sis?” tanya Imah lagi..

“Kurang paham bu,” jawab Sis.

“Si Jhon juga kenapa tiba-tiba diam ya Sis?”

“Saya ngga tahu juga bu,”

Pembicara antara dua kamar itu berhenti. Keheningan makin menjadi. Senyap dan tanpa tanda apapun.

“Pintu pagar depan sudah kamu kunci?” Tanya Imah memecah keheningan.

“Sudah bu,”

“Pintu depan?”

“sudah,”

“Cepat kamu selesaikan nyapunya, terus periksa si Jhon ya!” perintah bu Imah.

“Tapi bu,” protesnya ragu.

“Saya temani…,” ujarnya sambil meninggalkan kamar. Namun empat langkah kemudian lampu rumah mati. gelap pekat.

“Sis…?” panggil Imah. Tidak ada jawaban. Ia sekali lagi memanggil, tapi tetap tidak ada jawaban. Imah mulai curiga. Dalam gelap ia memutuskan untuk menuju ke kamar pembantunya itu. Dengan meraba arah, Imah berjalan pelan. sesekali mulutnya bicara, memperotes PLN yang sering seenaknya mematikan lampu warga.

Saat matanya difokuskan untuk mencari dimana letak pintu kamar Sis, Secepat cahaya, ia melihat kelebat warna putih yang lebih dulu masuk ke dalam kamar. kelebat putih itu kecil, berlari cepat dan langsung menghilang dibalik pintu yang memang tidak ditutup.

Imah mundur kebelakang dan merapatkan tubuhnya ketembok. Gerak jantungnya mulai melambat, mulutnya tersumbat, jari-jari tangannya mati rasa. Ia terkesima dalam takut yang mendera paksa. Apalagi tiba-tiba di dalam kamar terdengar suara orang berbicara lembut dengan bahasa yang tidak ia mengerti.

Imah tidak mau beranjak dari tempatnya. Ia memutuskan untuk menunggu, membiarkan semuanya berlangsung. Malam tambah senyap.

Beruntung tidak lama kemudian ada tetangga yang datang, memanggil namanya. Dua tiga kali tetangga itu menanyakan apa yang terjadi, tapi Imah tidak berani menjawab. Karena saat itu ia sedang melihat tubuh Sis ditarik oleh tiga mahluk samar putih yang bentuknya seperti kucing. Mata Imah tertanam kuat disana. Tubuh pembantunya itu terus ditarik, pelan menembus tembok kamar, pintu dan akhirnya keluar terbang kelangit. Matanya masih terbelalak menyaksikan semua itu. Dengkulnya lemas, badannya merinding. Dia ingin berteriak tapi suara tidak mau keluar dari mulut. lima menit kemudian disaat ramai suara warga diluar rumah, Tiba-tiba lampu menyala, Imah menutup mukanya dan mulai menangis. Mendengar di dalam ada yang menangis, para tetangga yang berada di depan menerobos masuk dan menjumpai Imah sedang terduduk di depan kamar pembantunya.

Ibu-ibu tetangganya mencoba menenangkan Imah yang sekarang menangis lepas.

 

**

 

Diruang tengah sudah berkumpul para pengurus RW. Ada pak Yudi yang ketua RW, kang Iwan sekretaris RW dan beberapa warga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Imah.

“Bagaimana kejadiannya bu?” tanya pak RW

“Saya tidak tahu pak,” jawab Imah.

“Sebelumnya tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan?”tanya Yudi lagi.

“ngga ada pak.”

“Sekarang pembantu ibu kemana?” Tanya Iwan.

“Entah. Dia dibawa oleh kucing-kucing itu.” jawan Imah dengan tatapan kosong.

“Kucing yang mana bu?” Tanya bapak Hadi yang gendut.

“Kucing-kucing yang warnanya putih,” jawab Imah lagi.

Mendapat jawaban yang tidak mereka pahami. Pak Yudi mencoba bertanya kepada warga diruang itu, barangkali saja ada yang punya pengalaman seperti kejadian Imah.

“Bagaimana bapak-bapak. Kejadian ini sungguh tidak lazim. Tapi ini terjadi di wilayah kita” ujar pak RW. “ barangkali dari bapak-bapak yang ada disini tahu atau pernah mengalami hal seperti?” tambahnya.

“Aneh, ini seperti kejadian mistik” celetuk bapak yang berbaju kaos hitam

“Saya sudah tinggal disini lebih dari lima tahun, belum pernah lihat ada kejadian seperti ini,” timpal bapak satunya.

“Saya pikir jangan kesitu dulu bicaranya, karena masalah gaib seperti itu sensitive pak, kalau informasinya tidak tuntas malah jadi fitnah nantinya. Lalu sekarang bagaimana pak RW?” tanya ibu Zaenab, tetangga satu tembok Imah..

“Kita harus mengambil sikap” tegas kang Iwan. “ Apalagi Sis tiba-tiba menghilang. ini harus dilaporkan ke polisi,” jelasnya lagi.

“Saya setuju pak. Jangan sampai kita yang disalahkan,” usul bapak yang berkaos hitam itu lagi.

“Bagaimana pak RW?” tanya Iwan.

“Baiknya kita cek dulu pak. Maaf bu Imah kami boleh masuk ke kamar belakang?” usul Iwan.

“Sudah ngga ada apa-apa. cermin yang berserakan dilantai juga hilang, foto ,bahkan semua barang Sis ga ada, kamar itu kosong,” terang Imah setengah menangis.

“Karena itu bu, kami ingin lihat. Barangkali ada yang bisa jadi petunjuk,” jelas Iwan lagi.

“Iya bu, biar sama- sama enak. Boleh ya bu?” sambung pak RW

“Mangga silahkan,” jawab Imah.

Bapak-bapak yang empat orang itu langsung menuju kamar belakang dekat dapur. Disana memang terlihat kamar sudah kosong. Dan seperti dijelaskan oleh Imah. Kaca rias dan foto memang tidak ada. Mereka lantas memutuskan memeriksa lebih detail, memeriksa setiap sudut.

“Fenomena apa ini pak?” tanya Iwan. sesaat merasa ada yang memukul pundaknya.”Sebentar pak!” Ia menoleh tapi tidak ada siapa-siapa. Padahal sebelumnya ia datang bersama bapak-bapak yang lain.

“Kemana mereka semua,” pikir Iwan.

“Pak RW?!” suaranya keras memanggil, tapi tidak ada sahutan. Iwan memutar tubuhnya, mencari disekelilingnya, tapi tempat itu kosong. Deg..jantungnya memberikan sinyal kuat. Ia segera menarik nafas panjang karena menyadari sesuatu telah terjadi pada dirinya. Dengan tenang Iwan tetap berdiri menghadap ketembok kamar. Dengan kesadaran penuh dia menyakini bahwa dirinya sudah berada ditempat lain, Iwan memutusnya untuk masuk kedalamnya. “Silahkan kalau memang ada yang ingin disampaikan,” ujarnya lembut.

Sesaat Sis muncul dari dalam tembok ditemani tiga kucing besar berwarna putih. Mereka tampak riang, seperti habis piknik atau makan direstoran. Dahi Iwan mengrenyit, kejadian dalam bentuk asap itu jelas dan nyata. Bahkan salah satu kucing itu bicara “Jangan pernah menyiksa binatang yang tidak bersalah,” ujarnya. Kucing itu berada dalam gendongan Sis yang mengusapnya lembut.

“Siapa yang menyiksa?” tanya Iwan mantap.

“Kalian,” jawab Sis

“Termasuk saya?” tanya Iwan tegas.

“Iya..!” jawab Sis lagi

“Kok?”

“Ayam pelung yang kamu simpan di kandang selama lebih dari dua tahun, apakah itu bukan penyiksaan,” jawab Sis masih dengan lembut.

Kucing yang berada dalam gendonganya tiba-tiba meloncat turun dan berjalan menuju iwan. Mereka berhadapan.

“Tapi ayam itu memang harus dikandang supaya tidak lepas. Apa itu salah?” tanya Iwan.

“Bagaimana kalau kamu yang dikurung? Apa rasanya?” jawab kucing itu.

“Lalu saya harus bagaimana?” tanya Iwan mencoba melawan pikiran.

“Lepaskan mereka semua. Mereka juga mahluk hidup yang butuh kebebasan, Sama seperti kamu,” jawab kucing itu lagi.

“Cuma itu?” tanya Iwan menegaskan. Kucing itu kemudian berjalan dan kembali dalam gendongan Sis.

“Lepaskan juga sifat binatang yang ada di dalam diri kalian. Bukankah kalian yang selalu bilang bahwa kalian berbeda dengan kami?!. Jadi kenapa tidak kalian biarkan sifat itu terbang dan bermain bersama hidupnya. Setahu saya, kalian manusia adalah mahluk yang sombong, sok tau dan selalu berpikir paling benar. Padahal kalian itu bodoh keras kepala.” Tambah kucing itu sambil menjilati tangan Sis.

Iwan diam. Ia tersadar oleh kata-kata itu, bahwa benar selama ini dirinya telah melakukan perbuatan yang salah. Ia memang sayang dengan ayam pelungnya, tapi dengan mengurung ayam itu dikandang justru menyiksa kebebasannya. Bayangkan dari pagi hingga malam dan ke pagi lagi Ayam itu hanya duduk, berdiri dan tidak bisa kemana-mana. Dari hari ke hari, bulan ke tahun ayam itu hanya berada didalam ruangan yang kurang dari satu meter persegi. Bahkan saat memamerkan ayamnya. Ia sering kali memaksa ayam itu untuk berkokok. Padahal mungkin saja ayam itu sedang malas atau sakit tenggorokan. Andai ia tahu, setiap pagi ayam, kucing, anjing, burung berteriak menuntut kebebasan. Namun Iwan dan yang lainnya tidak pernah paham. Termasuk Imah dan juga imah-imah yang lain sama, senang melakukan hal yang goblok!

 

**

 

 

Matahari pagi lembut menyinari perumahan dimana Imah tinggal. Pak Yudi, kang Iwan dan beberapa keluarga yang lain sedang duduk santai di lapangan rumput kompleks. Anak-anak berlarian mengejar binatang-binatang peliharaan mereka yang kini dilepas bebas. Seorang anak kecil tampak memeluk kucing putih besar. Kucing itu ia letakan direrumputan dan segera berlari karena dikejar. Mereka tengah berkumpul ceria setelah melewati kejadian empat hari lalu di rumah Imah. Kang Iwan tersenyum kepada pak Yudi.

Sejak kejadian itu, warga sepakat untuk tidak lagi mengurung binatang peliharaan mereka. Imah yang pertama kali melepas bebas burung-burung yang ada dikandangnya. Dari sepuluh burung ada satu yang tidak mau keluar meski pintu kandangnya sudah dibuka lebar. Imah tersenyum melihat keluguan burung itu. “Ayo keluar, kamu bebas sekarang..” ujarnya sambil tertawa. burung itu menjawab dengan mengibaskan sayapnya.”Ya sudah kalo kamu lagi malas…..” ujar Imah sambil tersenyum panjang.

Kang Iwan juga melepas ayam-ayam pelungnya. Begitu juga dengan yang lain. Kalaulah masih ada orang yang berani ngomong bahwa sebagai mahluk hidup kita harus saling menyayangi, melindungi dan menjaga satu sama lain. Sebenarnya bukan jaminan bahwa orang itu akan dapat menjalankan apa yang dia sebut sebagai kasih sayang. Sederhana saja, jika dirinya sudah dapat melepas apapun yang membuat mahluk hidup lain terkekang barulah dianggap mengerti artinya kasih sayang. Kasih sayang adalah kebebasan dalam tatanan aturan yang harmonis, tidak mengikat, lepas berada dalam wilayah hidupnya sendiri-sendiri. Siapapun tidak punya hak merampas hak hidup mahluk apapun. Beruntung warga komplek perumahan itu akhirnya paham tentang menjalankan arti arrahman dan arrahim yang diberikan oleh pencipta hidup.

“Sis, Jhon sudah kamu kasih makan?” tanya Imah saat melihat pembantunya itu datang dengan menggendong kucing besar keturunan persianya. Jhon turun dari gendongan Sis dan berlari menuju tengah lapangan… mengejar anak-anak yang ada disitu.

Imah tersenyum saat melihat kelebat putih meninggalkan rumahnya menuju matahari.

 

Arief Agustianto