KESAMBI, 1990

Malam sudah larut saat waktu menunjukan jam dua puluh tiga lebih lima menit dan rumahku seperti kapal pecah! Gelas, piring kotor bekas makan dan tisu berserakan dimana-mana. Rumahku baru saja diserbu sekitar dua puluhan orang teman lama untuk acara reunian. Diantara mereka ada yang sengaja datang dari jauh. Seperti Ardan datang dari Pontianak, Sekar dari Jakarta, Dewi dari Surabaya dan beberapa yang lain. Mereka adalah temanku saat kami SMA dulu. Sebagian teman sudah ada yang pulang. Tinggal beberapa orang saja. Ardan, Dewi, Sekar serta dua orang teman seangkatanku rela membantu membereskan rumah.

Lazimnya acara reuni, waktu banyak dihabiskan dengan ngobrol dan bercanda. Rumahku yang kecil jadi riuh, mirip kelas saat jam pelajaran kosong. Asyik rasanya bisa membuka lembar-lembar kenangan lama bersama mereka. Kamipun larut dalam kenangan masa sekolah. Semua merasa seperti bukan perempuan bersuami atau lelaki beristri. Cerita lucu keluar semua. Begitu juga rahasia- rahasia yang kemudian terbuka. Padahal waktu sekolah dulu, cerita semacam itu tertutup rapat. Seperti Indah yang cerita bahwa dia pernah mens di kursi atau Wiwi yang naksir gurunya. Semua adalah gambar masa lalu yang membuat kami tertawa lepas. Itu adalah catatan asli yang akan terus melekat.

Mendengarkan celoteh sahabat yang sudah lama tidak ketemu selalu membuatku senang sekaligus menjadi semangat untuk terus melangkah menjalani hidup yang kadang terasa membosankan.

Mamo dan Siska yang juga hadir malam itu terlihat tak banyak berubah, namun sebagian dari mereka sudah tampak berbeda kini. Banyak sekali yang berubah. Ardan yang angkatan laut terlihat lebih kekar dan gagah, jauh berbeda ketika masih di SMA dulu, dia kurus kering. Ada juga Sekar dan Dewi. Tubuh mereka rata-rata berubah jadi lebih gembrot. Sekar bekerja di Jakarta, sedangkan Dewi tinggal di Surabaya, suaminya eksportir batu bara. Aku sendiri bersuamikan seorang pegawai kelurahan.

Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepada mereka. Tapi sejak awal acara, tidak ada satu orangpun yang menanyakan tentang Putri. Padahal itu adalah inti aku mengumpulkan mereka semua. Aku ingin bercerita soal Putri. Soal hidupnya yang mungkin akulah yang paling tahu. Aku terus berharap ada yang bertanya.

Sekitar sebulan yang lalu, dalam tidur gelisahku, Aku mendapat firasat kuat mengenai Putri. Baru seminggu kemudian gundah itu kusampaikan pada suamiku yang akhirnya memaklumi apa yang kurasakan. Aku bilang soal niatku mau mengumpulkan teman-teman semasa SMA di rumah, dan dia mengijinkanku. Makanya sore sebelum acara, anak-anak diboyong ngungsi kerumah mertua. Biar tidak menggangu, alasannya. Suamiku hanya telepon sebentar menanyakan apakah acaranya berjalan lancar. Aku jawab Alhamdulillah. Aku juga memberitahukannya, bahwa masih ada teman yang mau ngobrol dirumah. Kukenalkan mereka ke suamiku yang kembali mengijinkan.

 

**

 

Sekar sedang menyapu, sementara Ardan memasukan kursi dari teras dan menatanya lagi seperti semula. Dewi mengumpulkan sampah sisa makanan, menaruhnya ke trash bag, kemudian diangkut ketempat sampah yang ada dihalaman. Mereka bertiga sebenarnya  sudah menyewa kamar hotel, tapi rasa kangen membuat mereka memilih untuk tidak kembali ke hotel.

Setengah jam rumahku sudah rapih seperti semula. Dua teman yang kebetulan satu kota denganku memilih pulang karena suami mereka datang menjemput. Setelah bersalaman dan saling berpelukan, mereka pergi. Tinggal kami berempat yang sepakat akan menghabiskan malam, melepas kangen dua puluh empat tahun berpisah. Puas rasanya bisa bertemu dan bercengkrama dengan kawan sekolah.

Kami duduk santai diteras rumah. Kopi hangat dan sisa kue acara tadi, dihidangkan lagi oleh pembantuku, mengisi obrolan seputar acara tadi. Khususnya perubahan penampilan teman-teman. Ardan cerita sambil tersenyum, saat dia kaget melihat Sumin yang dulu ditaksirnya. Sumin yang sekarang gendut luar biasa membuat Ardan sempat bilang untung dulu tidak jadian sama dia. Begitu juga Dewi ketika bertemu Dwi, teman bolosnya. Mereka teriak keras sambil menari khas mereka semasa sekolah dulu. Dewi dan Dwi memang satu geng. Sekar melengkapinya dengan bercerita soal kami yang dihukum berdiri menghadap tiang bendera karena tidak datang saat upacara Harkitnas. Semua kisah mengalir lepas tanpa batas dalam hiasan tawa yang polos. Aku jadi paham, bahwa kenangan adalah catatan hidup yang selalu dirindukan untuk dibaca lagi.

Aku masih berharap bisa membagikan gundahku, tetapi sepertinya pupus karena tidak ada ruang untuk memulainya ditengah derai tawa dan canda itu. Apalagi sedari tadi sama sekali tidak ada yang menanyakan soal Putri. Aku sempat berpikir, barangkali  memang waktunya tidak pas membicarakan sosok yang saat sekolah dulu tidak begitu disukai. Mungkin hanya egoku saja yang terlalu sensi pada Putri. Akhirnya aku pasrah pada malam yang makin larut dan cerita indah masa sekolah. Malam itu kami kembali masuk kemasa yang paling bahagia dalam hidup ini.

Tepat disaat aku mulai melepaskan niatku menceritakan soal Putri, Dewi dalam satu ceritanya menyebut nama Putri. Sontak hatiku berdegub keras sementara yang lainnya tertawa. Itu yang paling aku tunggu. Makanya tidak butuh waktu lama, BAM!! Ingatanku yang tadi duduk diam menunggu, mendadak berdiri dan berbaris. Mereka menunggu perintah dariku. Terbang melewati ruang waktu. Sedetik kemudian, aku berangkat menjumpai Putri yang terkapar. Dia sekarang ada dalam bayangan nyata dirasaku. Yang lain bingung melihat air mataku yang menggenang.

 

**

 

SEKOLAH KAMI

Teng….teng….teng….. Bunyi bel dari pelek bekas mobil truk itu terdengar keras dari sekolahku. Sebuah SMA swasta dikawasan pemukiman di pinggiran kota. Ratusan anak serentak meresponnya. Yang dikantin, yang duduk diteras depan kelas, semuanya beranjak serentak menuju kelas. Ada sebagian terlihat kesal karena cerita seru mereka harus terhenti. Sungut dan ungkapan sebel terlontar tanpa malu dari mulut mereka. Sementara bel masih terus dibunyikan oleh Pak Asep, komandan guru piket.

Sekolah dua lantai yang dicat warna biru laut itu kekar dan gagah. Sebagai salah satu sekolah favorit, tampilan keren lembaga pendidikan seolah menjadi syarat. Apalagi dikelilingi tembok bata merah model keraton dan dilengkapi pintu gerbang tinggi. Sekolah terlihat megah. Halamannya yang luas ditanami berbagai jenis tanaman. Disudut sebelah kiri dijadikan garasi motor siswa. Disebelahnya ada pintu utama yang langsung menuju jajaran 38 kelas. Dipintu utama itulah pak Slamet dan guru piket selalu berjaga menunggu anak yang terlambat datang.

Pagi itu, minggu ketiga bulan September. Tujuh bulan lagi, aku dan teman-teman akan menghadapi Ebtanas.

 

**

 

Semua siswa sudah berada didalam kelas. Teras kelas dan kantin yang tadi ramai, sekarang sepi. Tinggal petugas kebersihan dan pedagang kantin yang sibuk dengan kerja mereka masing-masing. Sambil menunggu guru datang, beberapa temanku ngobrol lagi melanjutkan cerita yang tadi sempat diberhentikan oleh bunyi bel. Kelas jadi ramai. Ada yang tertawa, ada yang diskusi nggak jelas, ada juga yang rebutan pulpen. Begitulah, setiap hari kelasku selalu riuh sebelum jam pelajaran dimulai.

Diluar, mereka yang terlambat berlarian mengejar pintu utama yang akan segera ditutup. Itu kelihatan jelas dari kelasku yang berada dilantai dua, karena aku duduk dekat jendela. Kebetulan penjaga sekolah hari itu toleran. Dia memberikan waktu beberapa menit menunda menutup gerbang. Dua puluhan anak berhasil selamat menggunakan toleransi itu. Tapi sebagian lagi sial. Toleransi habis tepat disaat mereka mencapai pintu. Sambil memandang kebawah, aku berpikir.Ternyata semua ada batas waktunya, termasuk toleransi. Beberapa teman yang terlambat mencoba mendebat si penjaga sekolah. Namun sia-sia. Karena penjaga sekolah merasa sudah memberikan toleransi. Mereka hanya bergerombol didepan gerbang yang sekarang dikunci. Buat yang terlambat, sudah jelas hukumannya. Dan hukuman tertinggi adalah dipanggil kepala sekolah.

Para pengajar juga mulai meninggalkan “Ruang Guru” yang ada dipojok kiri depan. Terlihat Pak Eman, guru matematika, Ibu Elly guru Kimia, Bu Ety guru Sosiologi dan beberapa guru lain berjalan disepanjang koridor menuju kelas sambil ngobrol. Ada yang janjian makan bakso selepas istirahat, ada yang balik lagi ke ruang guru karena sesuatu yang tertinggal, ada pula yang janjian untuk berangkat ke bank bareng karena dana sertifikasi mereka sudah cair.

Jam pertama di kelasku,  3 IPA 1 adalah Bahasa Indonesia.

 

**

 

Putri duduk gelisah di becak yang berjalan lambat. Terlihat si mamang yang sudah agak tua ngotot menggenjot.

”Cepetan sih mang, telat nih…” Protes Putri dengan nada kesal.

“Ya sabar nok. Sebenere sing telat kuh dudu mamang.” Balasnya dalam bahasa Cirebon pasaran. Wajah tua itu kelelahan. “Mamang sih standare ya semene, beli bisa nambah” lanjutnya menjelaskan.

Andai Putri mau menengok kebelakang sebentar saja, terlihat jelas dengkul tukang beca yang biasa mangkal didekat rumahnya itu bergetar kuat. Dengus nafasnya yang cepat dan urat lehernya yang menggelembung adalah tanda bahwa dia kesulitan menghisap oksigen untuk dimasukan ke paru-parunya yang keropos karena nikotin.

“Emang belum sarapan ya?” Tanya Putri mencoba membuat kesimpulan sederhana.

“Enok sih ngaco. Jam semene jeh nakon sarapan ning mamang. Bloli Pamali.” Jawab si mamang.

“Pamali kenapa?”Tanya Putri heran karena masih saja ada yang menggunakan prinsip itu dijaman se-modern ini.

“Isuk-isuk bloli ngomong mangan. Durung menggawe wis garep mangan.” Jelas si Mamang dengan suara agak lantang karena kebetulan jalan mulai menurun.

“Aturan darimana itu mang?” Tanya Putri penasaran. Baginya, sarapan itu penting karena akan memberikan kekuatan. Itu yang diajarkan oleh orang tuanya selama ini.

“Aturan wong tua jaman bengien.” Jawab mamang sambil menggenjot becanya lebih kencang.

Obrolan yang awalnya penuh protes, perlahan mulai melemah karena masing-masing bisa memahami kondisi dan pendapat. Itu yang membuat perjalanan jadi terasa lebih santai. Pikir Putri, memaksa si mamang untuk lebih cepat juga percuma, toh dia sudah pasti telat. Sekarang yang muncul malah rasa kasihan pada tukang becak yang di usia tuanya masih harus menjual tenaga dan selalu mengosongkan perut karena paham ‘pamali’nya tadi.

“Ya sudah, nikmatin aja mang. Whatever will be, will be.” Ujar Putri saat ditanya akan bagaimana dengan keterlambatannya. Dia tidak peduli si mamang itu paham atau tidak maksud kata-katanya tadi.

Dan benar saja. Putri, Dewi serta beberapa siswa dari kelas berbeda tertahan di ruang piket. Mereka terpaksa menunggu proses penyelesaian administrasi untuk siswa yang terlambat datang kesekolah.

Dewi cerita, saat itu Putri duduk sambil bernyanyi kecil lagunya “Imagine” karya Jhon Lennon. Tidak terlihat ada rasa takut atau kuatir akan dimarahi. “Anaknya cuek banget” ujar Dewi menjelaskan. Ardan menguatkan penjelasan itu. Dia bilang, Putri memang punya prinsip, apapun masalah harus dihadapi dengan tenang. Karena ketenangan membuat kita bisa berpikir jernih, ujar Ardan. Aku langsung mengiyakan, Karena prinsip itu juga yang aku dengar dari Putri.

Dewi melanjutkan ceritanya saat mereka dipanggil satu persatu menghadap guru piket.  “Dalam catatan ini, selama eik menjabat sebagai komandan piket, jij sudah telat delapan kali, dan ik tidak melihat ada niat jij untuk berubah.” Ujar pak Asep guru piket hari itu yang duduk berhadapan dengan Putri yang  tertunduk tentunya bukan karena takut atau malu atas kesalahan yang sudah dilakukan. Dewi melihat, Putri justru sedang menahan tawa karena melihat wajah culun pak Asep. Lelaki kurus dengan rambut klimis belah tengah sempurna plus kaca mata tebal yang turun mendekati ujung hidungnya itu, bicara dalam dialek Belanda yang kental. Baju putih lengan panjang yang Putri yakin pasti jarang disetrika, dikancingkannya penuh hingga ke leher.

Ik akan bertanya. Sebenarnya apa yang jij pahami soal aturan di sekolah?” ujar pak Asep sambil menaikan kacamata yang hampir jatuh. Putri tidak menjawab. Dia sedang fokus memperhatikan frame kacamata pak Asep yang penuh lakban. Pikir Putri, mungkin tadinya frame itu patah. Karena orangnya irit, makanya frame itu hanya dilakban warna putih. Putri masih terus berusaha untuk tidak tertawa.

So, jadi apa alasan kamu?”Tanya pak Asep dengan nada tinggi.

Iyaaa…saya bangun kesiangan” Jawab Putri kemudian.

Mengapa bisa kesiangan?” Tanya pak Asep lagi, masih dengan logat belandanya.

Karena saya tidurnya kemaleman, pak.” Jawab Putri lagi.

Mengapa kemaleman?”

Karena saya mengerjakan PR matematika, pak.”

Lalu?

Iyaaa.. terus saya bangunnya kesiangan, makanya saya terlambat” Jelas Putri. Kelihatannya dia sudah piawai menguasai keadaan untuk tidak tertawa.

O begitu, Ok. Menurut pandangan Jij siapa yang salah?” Tanya pak Asep memancing loyalitas muridnya. Mata besarnya disipitkan untuk memperlihatkan bahwa dia serius. Namun Putri hanya diam dan sedikit berpikir. Sejujurnya, Dewi sebel melihat gaya Putri menyikapi pertanyaan itu. Tapi dia juga akhirnya ikut menunggu jawaban Putri.

Hmmm….tidak tahu pak.” Jawab Putri pelan saja.

Mengapa tidak. Jij mestinya tahu, bahwa jij sudah melanggar aturan sekolah.”ujar pak Asep.

Masa sih pak?” Jawab Putri. Jawaban itu membuat Dewi makin sebel. “Rese bener nih anak, tinggal ngaku aja, beres. Ini pake alesan segala.” Ujarnya dalam hati.

Berarti jij tidak tahu kalo bersalah?” Tanya pak Asep lagi dengan nada suara yang lebih menekan dan mata lebih menyipit.

Tahu pak.” Jawab Putri cepat saja.

Dari mana jij tahu?“

Karena saya telat, pak.”

Good. Nah sekarang pertanyaannya, mengapa jij telat?”

Iya itu tadi, karena saya bangun kesiangan.

Oh itu eik sudah tahu kalau itu. Karena jij tidur kemaleman tho? dan jij mengerjakan PR matematika, begitu?”

Benar itu pak.”

Sudah-sudah. jij akan mutar-muter menjelaskan alasan itu. slacker zoon” Ujarnya dengan nada kesal. Tanpa banyak bertanya lagi, dia lantas menulis dibuku piketnya, bahwa siswi bernama Putri Nugrahayati terlambat dua puluh menit. Lelaki semi indo yang sudah mengajar hampir separuh umurnya itu memang senang membuat laporan dengan detail dan rapih.

Jadi siapa yang salah, pak?” Tanya Putri.

Pertanyaan itu membuat pak Asep mendongak menatap Putri dengan mulut mengangah. Dewi terpancing juga pada akhirnya. Dia tersenyum karena melihat wajah pak Asep yang menganga. “Sepertinya Pak Asep ingin menjawab pertanyaan Putri, tapi pikirannya memilih untuk berkata lain.” Ujar Dewi menjelaskan.

Yang salah?” Dia berpikir sebentar.

Saya… want ik heb jij gevraagd ….” Ujarnya sambil tersenyum pahit. Putri membalasnya dengan tersenyum juga. Sebenarnya dia tidak paham arti ucapan pak Asep yang terus menulis sambil mulutnya komat kamit,

lopen de regel veel makkelijker dan ruzie over regels” mungkin karena kesal.

Dewi menjelaskan kepada kami semua. Kalau diartikan omelannya itu kira-kira isinya, ”Menjalankan aturan jauh lebih mudah daripada berdebat soal aturan.” Jelasnya.

Akhirnya semua yang terlambat mendapat hukuman. Dewi ditugasi mengumpulkan absensi kelas. Sedangkan Putri harus menyapu koridor lantai bawah. Meski begitu, baginya hukuman itu bukan masalah. Karena dia merasa cukup puas bisa latihan berdebat, apalagi dengan pak Asep yang indo londo. Jelasnya kepada Dewi ketika itu.

Je moet leren van je fouten.” Ujar pak Asep sungut.

 

**

 

Putri berdiri mematung ditengah koridor sekolah. Membuat prakiraan berapa cepat bisa menyelesaikan hukuman. Teras itu tidak lebar, tapi memanjang karena melewati tujuh kelas. Masih beruntung, karena dari tujuh kelas itu, bukan kelasnya. Setidaknya dia aman dari tatapan sinis siswa sekelasnya. Dengan satu tarikan nafas, dia mulai menyapu. Gerakan tangan diatur iramanya agar tidak cepat lelah. fokus dengan tarikan nafas yang dibuat santai. Saking fokusnya Putri hanya menunduk, mengambil sampah debu disudut dan menyorongkannya ketepian saluran air. Begitu terus hingga beberapa meter kedepan.

Melihat Putri menyapu, beberapa siswa yang kenal,meski dari kelas yang berbeda merasa punya kesempatan untuk menggoda anak tomboi dengan potongan rambut model cut pixie lovely dan gelang kayu ditangan kirinya itu. Mereka ingin tahu, seperti apa jadinya jika anak cuek itu digoda. Makanya kesempatan seperti itu saying untuk sia-siakan.

Godaan dilancarkan dari yang paling ringan sampai yang berat. Ada yang berdehem atau tertawa kecil sambil memperlihatkan muka memelas. Ada juga yang berani mendenguskan nafas sebagai sindiran kalau menyapu itu pasti capek.

Pagi biput, nyapu nih?..” Celetukan tidak jelas pertama datang dari kelas yang dilewatinya. Putri hanya melirik sebentar kearah datangnya suara. Ardan, anak Osis yang duduk dekat jendela sedang tersenyum dengan mata dipejamkan. Putri membalasnya dengan suara agak pelan “ Pitak…!”. Begitu cerita Ardan sambil tertawa keras. Masih ingat dibenaknya bagaimana reaksi Putri saat itu. Lewat kelas yang lain, ada lagi yang iseng menggoda. “Nanti sekalian kelas ini ya…!?” Kali itu Putri tidak mempedulikannya.

Kita bayar juga tidak apa-apa.” Tambah orang bicara dari balik jendela itu.  Kata “kita bayar” itulah yang membuat Putri penasaran. “Siapa sih yang iseng?” pikirnya. Saat dia melihat, Tedi – yang juga anak osis – dengan lidah terjulur dan mata julingnya, memperolok Putri, “Kacian deh…”. Melihat muka Tedi yang lucu, Putri tertawa keras sambil ngomong ”Apa kamu, jitak nih

Suara tertawa Putri itu membuat se isi kelas serentak melihat kearahnya, termasuk Pak Muklis. Tedi yang tidak tahu dengan situasi itu, terus menggoda Putri, “Telat ya bu?” ujarnya dengan gaya yang sama seperti awal tadi.

Sekar menceritakan detail peristiwa itu dan sekarang ia ikut tertawa sama kerasnya dengan Ardan dan Dewi. Sedangkan aku hanya mendengarkan saja cerita mereka. “Kamu tahu nggak?, Tedi baru berhenti saat pak Muklis menotok kepalanya dengan penggaris yang membuat kelas jadi penuh tawa. “Kalau guru lagi nerangin lihat kesini!” ujar pak Muklis sambil memutar kepala Tedi yang meringis karena malu. Putri yang ikut tertawa mendadak diam. Semua murid dikelas juga diam. Karena didepan kelas lewat kepala sekolah.” Sambung Sekar yang di ikuti tawa makin keras.

 

**

 

Aku masih berada dilingkar bayangan itu.  Sulit sekali melepasnya. Cerita Sekar barusan sebenarnya menguatkan inginku untuk segera menyampaikan gundahku kepada mereka. Namun kutunda niatku itu karena aku tidak tega merusak suasana yang sudah terbangun apik.

Sekar kemudian cerita lagi. Dia bilang, sebenarnya tidak pernah membenci Putri. Dimatanya, Putri itu orang baik. “Banyak yang bisa kita ambil dari omongannya. Tapi karena teman-teman sudah segan duluan, makanya kita tidak pernah tahu seperti apa sebenarnya Putri. Yang gua lihat, dia tidak pernah menyusahkan orang lain. Senang memberi dari pada meminta. Hanya saja, sikapnya terkesan sombong. Mungkin karena tidak gaul dan sangat menjaga privasi.” Ujar sekar menjelaskan.

“Bukankah seseorang itu akan dinilai dari bagaimana dia bersikap?. Bahkan sebuah keberhasilanpun dicapai melalui sikap,” Tanyaku kepada Sekar. Aku ingin mengurung mereka untuk tidak berganti tema cerita. Apalagi saat semua sudah membicarakannya. Putri adalah tema utama. Karena itu aku mulai berani menambahkan beberapa informasi baru soal Putri kepada mereka.

“Putri pernah bilang “Sifat memberi akan membangun jiwa bersyukur. Secara psikis orang yang gemar memberi lebih mampu menerima keadaan dari pada orang peminta.” Jelasku yang kemudian dibenarkan oleh mereka. Aku juga cerita soal Putri yang dipanggil menghadap Pak Roni. Mendadak riang mereka berhenti karena penasaran menunggu ceritaku. Aku baru tahu ternyata bagian cerita itu tidak pernah ada yang tahu.

“Ruangan kepala sekolah itu besar dan mewah. Mejanya saja terbuat dari kayu jati. Diatas meja berserakan bermacam kertas dan buku. Ada nota-nota, alat tulis dan ada sebuah foto keluarga. Saat itu Putri duduk menunggu, karena kepala sekolah sedang ke kamar mandi yang ada disamping kanan ruangan. Dia memperhatikan dengan seksama foto keluarga itu. Sang Kepala sekolah rupanya punya dua anak yang seusia dengan dirinya. Hanya saja anak itu  lebih cantik. Maklum karena ibunya juga cantik. Putri kagum dengan kehangatan yang diperlihatkan oleh keluarga itu. Setidak dari sumringah mereka difoto. “Itu Lidya namanya, anak bapak paling besar. Dan yang disebelahnya, Doni Kartiko, sekarang kelas lima SD.”

Putri kaget setengah mati saat pak Roni Baskara, sang kepala, sekolah tiba-tiba bicara. Rupanya saat keluar dari kamar mandi, dia melihat Putri sedang asyik menikmati foto itu. Dengan santai Putri menyandarkan kepalanya dimeja kerja.

Pembawaan pak Roni yang tenang berwibawa dan tanpa raut emosi, membuat Putri ikut tenang. Dia dengan santai menyalami muridnya,”Apa kabar? “ ujarnya. Putri menyambut sapa hangat itu agak ragu. Karena jarang ada kepala sekolah yang melakukan hal seperti itu.

Putri bilang, awalnya dia dipanggil oleh Bu Retno guru BP selepas istirahat. Dari penjelasannya, Kepala sekolah ingin bertemu dan bicara dengan dirinya.

Ibu cantik ya pak?” Ujar Putri mengentalkan keakraban.

Dulu dia murid saya.” Jawab pak Roni pelan.

Maksudnya pak?” Sergah Putri yang kaget lagi karena jawaban Pak Roni berada diluar dugaannya.

Istri saya itu dulu murid saya.” Jelasnya sambil tersenyum.

Ups…Gila.. ada ya murid yang mau kawin sama gurunya.“ bisik Putri pelan dalam hati.

Ya, sudah takdir bapak sepertinya.” Jawab pak Roni sambil menghela nafas panjang. Dan itu membuat Putri kembali terkejut. Dia merasa kepala sekolahnya itu sedang membaca apa yang dibisikan oleh hatinya. Dengan senyum sipu malu Putri menjawab singkat, “Iya pak, takdir.”

Pak Roni kemudian mengambil tumpukan map yang ada di sebelah kanannya. Sekitar lima belas map warna merah itu tanpa nama. Dia kemudian memilih dan mengambil salah satu dari tumpukan itu.

Saya dapat laporan, bahwa kamu sering terlambat. Apa benar itu?” Tanya Pak Roni.

Maksud bapak?” Tanya Putri setengah bingung, karena tadi dia sibuk mengamati tumpukan map itu.

Apa benar, Kamu terlambat karena banyak PR?” Tanya Pak Roni lagi.

Tidak juga pak,” ujar Putri beralasan.

Lalu, kenapa kamu ngomongnya begitu kepada Pak Asep?” kejar Pak Roni. Putri lantas diam. Pikirannya bekerja cepat membaca situasi apa yang akan terjadi. “Wah guru londo itu ngadu rupanya…” bisik Putri lagi dalam hati.

Saya banyak dapat pengaduan. Bukan hanya dari pak Asep” lanjut pak Roni yang membuat Putri kembali terbelalak, “Gila nih orang, tahu apa yang saya pikirin.”

Gimana? Apa itu benar?” Tanya pak Roni. Putri sempat menggigit bibir bawahnya. Dia merasa dikepung oleh sikap pak Roni yang tenang dan tegas. Pertanyaan tanpa basa-basi dan langsung masuk pada persoalan membuat Putri ekstra hati-hati dalam menjawab.

Iya tidak semuanya benar pak. Saya hanya senang saja berdebat dengan bapak itu. Orangnya suka nyari kesalahan orang lain.” Jelas Putri. Dia ingin memancing reaksi pak Roni dengan memberikan alasan segampang itu.

Hahahaha, iya..ya“ Pak Roni tertawa lepas. Sekarang dia yang terkejut karena jawaban muridnya itu tidak ada dalam nalarnya. Masih dengan sisa senyum, dia membuka lembar map yang berisi data Putri. Beberapa point seperti diparafnya. Entah apa maksudnya.“Kamu tidak boleh begitu. Saya tahu prestasi kamu bagus disekolah ini, khususnya dibidang sastra. Jadi kasih contoh baik dong buat temen-teman yang lain. Bisakan?” Pintanya dengan nada suara bijak. Putri tidak cepat mereaksi permintaan itu. Baginya, semua keterangan yang masuk perlu dicerna dengan matang agar tidak salah pemahaman. Putri tahu dari beberapa contoh yang diceritakan oleh bapaknya, bahwa kegagalan umumnya terjadi karena salah mengambil kesimpulan. Karena itu dia terus membuat penggambaran apa yang dimaksud dengan memberikan contoh. Putri bukan orang yang mudah bertanya ini apa atau itu bagaimana. Dia lebih suka berpikir. Hanya jarinya saja yang tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja kerja pak Roni.

O iya, Kamu tahu bahwa kamu menang dilomba penulisan cerpen?” Tanya pak Roni. Setelah sebelumnya ia melihat kearah tangan Putri yang masih mengetuk-ngetuk mejanya.

Saya tidak tahu.” Jawab Putri.

Sekarang bapak kasih tahu. Kamu juara tiga, itu pialanya.” Terang Roni sambil menunjuk piala yang ada di dalam lemari kaca. Putri hanya melihat sebentar, kemudian kembali berpikir dan kembali mengetuk-ngetuk meja.

Kamu tidak bangga?” Tanya Roni yang heran melihat reaksi Putri.

Tidak.”

Kenapa?

Itu cuma piala pak. Simbol. Saya tidak begitu suka dengan simbol-simbol. Terasa semu!” Jawab Putri acuh. “Hahahah…Kaya ngerti saja arti kata semu.” Ledeknya sambil senyum.

Saya ingin melakukan sesuatu yang nyata pak.” ujar Putri.

Bagus. Bapak  paham bagaimana cara kamu berpikir. Begini putri, bapak cuma minta kamu kurangi pelanggaran disekolah yah!? Karena itu salah satu kebanggaan yang tidak semu tadi. Kita harus bangga karena mampu mendisiplinkan diri. Bukan buat sekolah, apalagi buat bapak. Ini buat kamu. Hidup harus punya prinsip, meski prinsip juga harus bisa bertoleransi. Bapak yakin kamu paham.” Jelas Roni menutup wejangannya. Putri menangkapi tajamnya kata-kata Sang Kepala sekolah ditandai dengan anggukan kepalanya.

 

**

 

Sama ketika ambruk, Putri masih bisa tersenyum, berpikir dan bercerita. Sambil tangan dinginnya menggenggam erat tanganku. Wajahnya sayu dengan rambut yang mulai rontok akibat menjalani kemotherapi, membuat sorot tegas matanya perlahan hilang. Gaya hidup bebasnya lepas oleh penyadaran yang tidak pernah tuntas. Namun satu hal yang pasti, dia masih tenang menerima keadaan.

Hari itu dia bercerita tuntas soal awal mula keterlibatanya hinggadihadapkan ke sebuah pilihan yang sudah ditetapkan. Inilah gundahku yang akan kuceritakan kepada teman-teman yang malam itu masih mendengarkan. Karena catatan malam itu akan kukirim pada Putri. Dewi, Sekar dan Ardan mungkin orang yang tepat untuk menyelesaikan bab terakhir dari kisah yang tidak pernah diketahui orang. Aku pandangi wajah mereka satu persatu sebelum masuk  pada cerita agar tidak terkesan main-main. Semua harus terekam dengan baik. Seperti hari itu Putri memulai ceritanya untukku.

Keyakinan hanyalah wadah agar kita tetap berada dalam pemahaman yang kongkrit. Manusia tidak pernah bisa berdiri pada dua sisi yang berbeda.

Aku tidak pernah menyesalinya” ujar Putri membuka ceritanya padaku hari itu. Catatan demi catatan aku gelar. Persis seperti apa yang dijelaskan Putri kepadaku, dia hanya ingin ceritanya tersampaikan. Tidak lebih.

Ardan menutup mukanya. Sekar juga begitu. Dewi menyandarkan kepalanya dipundakku. Tanda bahwa dia telah berada dalam rasa yang aku lemparkan. Dewi pernah dekat dengan Putri, mereka satu kelas. Dia tidak pernah menyangka ada kejadian seperti apa yang aku ceritakan. “Dimana dia sekarang?” tanyanya kemudian. Aku diam. Ada kekuatan besar yang menghadang mulutku untuk bicara. Hanya linangan air yang kurasakan memenuhi rongga mataku yang kecil. Harapan yang awalnya hanya ingin menceritakan apa yang aku tahu soal Putri, sekarang malah terbalut oleh emosi. Termasuk aku yang lebih dulu jadi emosional. Dewi yang melihat aku menagis, memelukku kuat. Dia juga mulai menangis. “Kamu pasti tahu semuanya.” Ujar Dewi dalam tangis yang dalam.

“Ini pasti ada kaitannya dengan Rudi.” Tiba-tiba Ardan bicara. Mukanya serius, matanya tajam menatap lantai.

“Rudi Siapa?”Tanya Sekar penasaran.

“Kamu tahu ceritanya, Dan?” tanyaku memastikan. Ini akan melengkapi gundah yang datang separuh dalam diriku. Ardan mengangguk pelan kemudian bercerita, bagaimana awal keterlibatan Putri dangan Rudi.