Kontroversi Hukuman Mati dan Relevansi Terhadap HAM

Cirebonmedia.com– Hukum merupakan suatu hal yang terlahir untuk mengatur keadilan bagi manusia, kita mengenal hukum Tuhan dan hukum yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur kehidupan dan menegakkan keadilan. Keberadaan hukum yang tertuang dalam peraturan, perundangan, norma dan dogma, sejatinya berfungsi mengendalikan perilaku manusia agar sesuai dengan kebenaran yang telah disepakati secara umum.

Menurut salah satu pakar hukum di Indonesia, R. Soeroso, SH. Definisi hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Hukuman adalah suatu tindakan yang dilakukan penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi yang pantas sesuai pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Akan tetapi hukuman justru lebih sering menjadi kontroversi di dalam persepsi masyarakat, dan yang paling menjadi sorotan dunia adalah hukaman mati yang diberikan suatu lembaga penegak hukum yang dijatuhkan kepada si pelanggar.

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh lembaga penegak hukum kepada pelanggar yang telah melakukan pelanggaran berat. Hukuman mati merupakan hukuman terberat, karena mengeksekusi mati sang pelaku dilnilai sejumlah kalangan masyarakat merupakan tindakan ‘keji,’ sebab ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar manusia bahwa semua orang memiliki hak hidup yang sama. Hal itulah yang kemudian menjadi kontroversi di mata dunia dengan lebih melihat kepada sisi kemanusiaan serta pandangan bahwa hukuman mati melanggar HAM yang banyak dikampanyekan oleh negara-negara maju.

Hukuman mati sendiri pertama kali diterapkan pada abad ke-18 Sebelum Masehi, saat era kekuasaan Raja Hamurabi di Babilonia. Dengan adanya hukum  yang dibuat secara tertulis, bersamaan pada saat itu juga undang-undang dibuat, dan pada saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Seiring waktu berjalan jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati kerap berubah-ubah. Pada zaman itu, hukuman mati mulai banyak diterapkan di banyak negara bagi rakyat yang melakukan kejahatan besar.

Dalam pelaksanaannya, hukuman mati memiliki metode eksekusi  yang  berubah-ubah di setiap negara karena pengaruh waktu dan perkembanganya. Awalnya, hukuman mati  diterapkan dengan cara eksekusi yang sangat kejam, seperti  dengan cara dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam atau dilempar batu ramai-ramai bahkan sampai dengan diinjak oleh gajah. Kebanyakan negara melaksanakan eksekusi di depan publik dengan harapan rakyat akan jera. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, mulai dilakukan hukuman mati dengan cara yang lebih manusiawi.

Baru-baru ini dua orang berwarga Negara Australia yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang tergabung dalam ‘Bali Nine’ menjadi buah bibir kontroversi dunia karena hukuman mati yang dijatuhkan pada mereka terkait kasus penyelundupan narkoba. Bali Nine adalah sebutan untuk sembilan orang Australia yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali, Indonesia dalam usaha mereka untuk menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg. Anggota komplotan ini adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens. Metode penyelundupan heroin oleh kelompok ini yaitu dengan cara memasang heroin di tubuh mereka, awalnya keempat dari mereka yaitu Czugaj, Rush, Stephens, dan Lawrence ditangkap di Bandara Ngurah Rai saat sedang menaiki pesawat tujuan Australia. Kemudian yang disebut-sebut sebagai “The Godfather” kelompok ini Andrew Chan ditangkap disebuah pesawat terpisah saat hendak berangkat. Sisa dari anggota ini Nguyen, Sukumaran, Chen dan Norman ditangkap di sebuah Hotel Melasti di Kuta Bali karena menyimpan heroin seberat 350g dan barang-barang lainnya yang mengindikasikan keterlibatan mereka dalam usaha penyelundupan tersebut.

Keberhasilan kepolisian Indonesia menangkap kelompok Bali Nine tak lepas dari informasi berharga yang diberikan oleh pihak kepolisian Federal Australia kepada intelijen. Seminggu sebelum penangkapan itu terjadi, pihak kepolisian Australia memberikan nama, nomor paspor dan informasi penting yang berkaitan dengan hubungan antar kelompok pengedar narkoba internasional.

Pada tanggal 13 Februari 2006, pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis kepada Rush dan Lawrence dengan hukuman penjara seumur hidup, kemudian Czugaj dan Stephens menerima vonis yang serupa  sedangkan Sukumaran dan Chan, dua tokoh yang dianggap berperan penting, dijatuhi dihukum mati. Kemudian pada tanggal 15 Februari, tiga lainnya yaitu Nguyen, Chen, dan Norman divonis penjara seumur hidup oleh para hakim. Setelah mendapatkan vonis hukam dari para hakim, para terpidana dipindahkan ke lapas Gerobogan Bali.

Terpidana mati selanjutnya akan dipindahkan ke lapas Nusakambangan dan bergabung dengan terpidana mati lainnya dan diantaranya yang menjadi sorotan adalah 2 WNA yaitu  Marco Archer Cardoso Moreira asal Brasil dan Ang Kim Soei yang tercatat sebagai warga negara Belanda  guna menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusi mereka.

Pada tanggal 18 Januari 2015 Marco, Ang Kim beserta yang lainnya menjalani eksekusi terlebih dahulu di tempat terpisah yaitu di Nusakambangan dan Boyolali dengan serentak pada waktu yang sama. Dan duo Bali Nine akan dieksekusi pada gelombang kedua setelah dipindahkan dari lapas Gerobogan menuju Nusakambangan dengan pengawalan super ketat guna mengantisipasi sabotase eksekusi hukuman mati.

Keputusan tersebut menimbulkan polemik serta konflik diplomatik bagi negara-negara yang warganya masuk dalam daftar eksekusi. Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia, hal ini merupakan protes keras atas proses hukuman mati yang dijatuhkan pemerintah Indonesia kepada warga negara mereka. Hingga  Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia merasa kaget dan menilai hukuman itu kejam,  terlebih ini adalah yang pertama bagi negara Brasil yang warga nya dieksekusi mati diluar negeri. Rousseff pun sampai meminta permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo, namun hal itu tak berhasil karena menurut Presiden Jokowi, hukuman tidak dapat diubah, karena proses hukum telah berlangsung dan saat ini Indonesia tengah menghadapi situasi darurat narkoba.

Protes dan kecaman tak hanya datang dari Brasil saja, Wakil Presiden Uni Eropa Federica Mogherini, turut mengecam Indonesia atas eksekusi mati 6 terpidana,  menurutnya keputusan itu menyedihkan, ketika mayoritas bangsa mengakui penegakan hak asasi manusia, termasuk pada narapidana kejahatan berat.

Protes Australia merupakan yang paling menonjol dalam menanggapi kontroversi hukuman mati tersebut, pemerintah Australia terus melakukan usaha agar warga negaranya dapat terbebas dari hukuman mati. Mulai dari usaha diplomatik, hingga aksi-aksi tandingan yang menentang kebijakan hukuman mati tersebut. Australia menyatakan akan memboikot Bali sebagai destinasi wisata bagi warganya. Perdana Menteri Australia Tony Abbott pun angkat bicara di sejumlah media, menurutnya ia muak dengan rencana eksekusi dua warga negara Australia yang terlibat kejahatan narkoba oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi, rencana ini terlihat semakin dekat dengan dipindahkannya Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Lapas Kerobogan Bali menuju  Nusakambangan. Dalam wawancara dengan radio ABC, Tony Abbott mengatakan bahwa jutaan penduduk Australia muak dengan perkembangan kabar mengenai eksekusi mati dua warganya. “Kami membenci kejahatan narkoba, tetapi kami juga benci hukuman mati, yang kami pikir tak pantas dilakukan untuk negara seperti Indonesia,” kata Abbott. “Terus terang kami muak dengan kemungkinan pelaksanaan eksekusi tersebut.” Hal itu pun diperparah dengan demo yang dilakukan warga Australia didepan kantor duta besar Indonesia di Australia yang melakukan pelemparan cairan merah yang melambangkan darah yang sebelumnya dimasukan pada sebuah balon. Tensi antara Indonesia dan Australiapun meninggi.

Apapun itu, Indonesia tetap berpegang teguh pada pendirian untuk menuntaskan putusan hukuman mati. Semua permohonan grasi terhadap terpidana mati ditolak oleh Presiden Jokowi. Konflik diplomatik dihadapi dengan kepala tegak. Indonesia tetap bersikap tegas. Nada-nada sumbang dunia tentang kontroversi hukuman mati tak membuat pemerintah Indonesia bergeming.

HAM dalam salah satu butirnya memang menegaskan bahwa hukuman mati jelas bertentangan dengan hak hidup manusia. Namun HAM itu sendiri sering menjadi kendaraan diplomatik negara-negara maju untuk melancarkan orientasi mereka. Indonesia memang tengah menghadapi situasi kritis darurat bahaya narkoba. Hukuman mati diharapkan mampu memunculkan efek jera bagi pelaku kejahatan narkoba. Namun apakah hal tersebut sudah tepat sebagai solusi permasalahan itu? Terlepas dari HAM, terlepas dari narkoba, apapun alasannya, apakah mencabut nyawa manusia dan merenggut hak hidupnya layak dilakukan oleh sesama manusia?

 

image by commons.wikimedia.org