156 hari, aku berhasil lepas dari bayang-bayangmu. Aku tenggelam dalam pekerjaanku, aku membangun rutinitas yang baru, mencari kesibukan hingga tak ada sela untuk memikirkanmu.

Meski pun saat malam, menjelang tidur, namamu selalu terlintas di benakku, hanya untuk mereka-reka apa kabarmu di sana? Sedang apa kamu di sana?

Sejak pertemuan terakhir kita. Di mana, kita menghabiskan malam untuk membicarakan hal-hal-hal sederhana hingga absurd, tertawa renyah tak memedulikan sekitar, nongkrong di sebuah kedai hingga diusir oleh pelayan karena kedai tersebut akan tutup. Setelah itu, esoknya kamu menghilang.

Bisa kamu bayangkan, berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk tidak bergantung padamu. Untuk tidak mencoba menghubungimu atau meneleponmu walau tak sampai 1 menit hanya untuk mendengar suaramu. Cukup panjang bukan?

Selepas 156 hari, akhirnya aku bisa terbiasa…

Hingga suatu ketika, kamu tiba-tiba datang. Lukaku yang mulai mengering, terkelupas lagi. Kamu memintaku bertemu, kamu bilang banyak hal yang ingin kamu ceritakan padaku.

Setelah dua minggu lamanya, aku sibuk menimbang-nimbang, akhirnya aku goyah.

Kita bertemu di sebuah kedai kopi di bilangan Selatan Jakarta, kamu yang meminta. Aku amini saja. Padahal aku tidak suka kopi, lebih tepatnya tidak bisa minum kopi. Cih! hal kecil saja kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Kamu terlalu sibuk dengan dirimu dan masalahmu, ya kamu tidak sepeduli itu padaku!

Kita berdua duduk, cukup lama. Lalu, kamu memesan kopi pekat kesukaanmu ‘espresso’, aku pun sama. Sengaja aku pesan espresso, aku pernah mencobanya, lapisan “crema” berwarna cokelat mudanyaa adalah bagian paling pahit. Ya, pahit, sepahit kisah kita!

Banyak yang bilang espresso itu nikmat dan bisa dinikmati sisi manisnya apabila kita tahu cara menikmatinya. Tapi sekali lagi, aku bukan penikmat kopi. Aku tidak bisa minum kopi.

Di kedai bergaya minimalis ini. Kita seperti sedang bermain sandiwara. Kamu tanpa rasa bersalah, tanpa rasa berdosa, ada di depanku seperti tidak ada apa-apa. Mengoceh ini itu, bercerita ini itu, menasehatiku ini itu. Aku hanya memandangmu dan memberimu senyum kecil.

Aku pun berakting, berpura-pura bahagia, saking bagusnya akting yang kumainkan, sampai kamu tak sadar bahwa aku sebenarnya tengah sibuk merawat luka.

Aku memandangmu dalam-dalam saat menyesap espresso.

Tapi… tiba-tiba, perasaan aneh menggelayutiku. Aku merasa kembali mengulang kejadian yang selalu terjadi. De javu! Kejadian bagaimana kamu masuk begitu saja dalam hidupku, namun tiba-tiba pergi tanpa kata. Tak bisa kuhubungi, tak bisa kutemui.

Tiba-tiba, lukaku yang kembali menganga ini seperti ditaburi garam kemudian diperciki sari jeruk nipis, sakit! perih! pilu! Ketika membayangkan bagaimana melewati waktu untuk melepasmu, tidak bergantung padamu.

Seperti apa yang Paulo Coelho bilang dalam bukunya ‘Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis’.

Aku pernah jatuh cinta sebelumnya, rasanya seperti narkotik. Mula-mula mendatangkan euforia penyerahan diri, lalu hari berikutnya kau menginginkan lebih banyak. Kau belum kecanduan, tapi kau menyukai sensasinya, dan kau mengira masih bisa mengendalikan semuanya. Kau memikirkan orang yang kaucintai selama dua menit, dan melupakan mereka selama tiga jam.

Tapi kemudian kau terbiasa dengan orang itu, dan mulai bergantung sepenuhnya pada mereka. Sekarang kau memikirkannya selama tiga jam dan melupakannya selama dua menit. Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pecandu yang selalu membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pecandu yang akan mencuri dan mempermalukan diri sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka, kau pun bersedia melakukan apa saja demi cinta

Ya, aku mengorbankan segalanya, aku mengorbankan harga diriku. Ketika kesabaran sudah di ambang batasnya, aku mencoba bangkit dan sembuh dari rasa ketergantungan, aku berjuang sekuat tenaga. Proses itu tidak sebentar, meski luka mulai sembuh, masih menyisakan rasa lapar karena rindu, rasa haus karena cinta.

Cukup! Aku tidak ingin seperti itu lagi! Jeritku dalam hati.

Setelah menandaskan secangkir espresso tanpa ampun, aku bilang pada Surya.

“Mas. Kamu itu seperti pelangi. Setelah hujan, kamu datang memberi warna. Keindahanmu menginspirasiku, menyemangatiku, tapi namanya pelangi indahnya hanya sementara. Setelah itu kamu pergi, setelah itu kamu menghilang. Aku tidak pernah tahu kapan melihat pelangi lagi, di mana melihat pelangi lagi. Parahnya, pelangi itu membuatku mencintainya melebihi cinta kepada diriku sendiri. Aku capek, Mas. Mungkin, ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”

Setelah itu, aku kembali memesan secangkir espresso.

“Ayo, mas, kita habiskan espresso ini bersama-sama. Ini minuman terakhir kita. Ini pertemuan terakhir kita.”

Pria 6 tahun di atas ku tersebut bingung, seperti biasa dia terlalu bodoh untuk membaca kata hati perempuan, untuk menerjemahkan air muka perempuan.

“Ayo,” pintaku lagi.

Kami akhirnya menghabiskan espresso itu bersama. Setelah habis, aku langsung pamit dan pergi ke meja kasir, membayar tagihanku dan dia. Kemudian, aku pergi meninggalkan kedai kopi itu, pergi meninggalkan Surya.

Biodata Penulis

Giattri Fachbrilian Putri. Penulis lahir di Cirebon pada Februari 1990. Memiliki hobi berarung jeram dan mendaki gunung. Menyukai tantangan, tapi phobia ular. Saat ini penulis bekerja sebagai jurnalis di Majalah Men’s Obsession & copywriter freelance. Jika ingin menghubunginya bisa melalui account facebook dengan nama Giatri Fachbrilian Putri, Instagram: @giattri_fachbrillian_putri atau email: . Moto: “Life for nothing or die for something.

52 Total Views 2 Views Today